Kamis, 30 Desember 2010

Nafsu bukanlah cinta - 1

Tanggung jawabku sebagai seorang Shipping Manajer menyebabkan aku punya banyak relasi bisnis dari perusahaan perusahaan pelayaran maupun perusahaan angkutan lainnya. Namun ada satu rekanan bisnisku yang akan kuceritakan dalam kisah ini. Sebut saja Susi, begitu nama sales executive dari sebuah pelayaran di kota S, bertinggi badan kurang lebih 165 cm, dengan postur tubuh proporsional dan busung dada 36. Hidungnya mancung dan rambut hitam ikal sebahu. Perusahaannya memang bonafide, sehingga beberapa pekerjaan skala besar dapat terkirimkan dengan baik. Jujur saja dalam hati kecil ini juga kagum pada kecantikan Susi dan sebagai lelaki normal yach secara tak sengaja melihat sisi dalam pahanya saat disilangkan yang membuat seonggok daging kenyal disela-sela pahaku, "unjuk diri".

Sebagai relasi yang baik Susi terkadang mengajak lunch di luar ataupun hanya memberiku cindera mata atau selepas kerja kami nongkrong di kafe musik. Pada saat itulah Susi bertanya banyak tentang diriku dan kujawab semua dengan benar, aku memang suka berterus terang termasuk keadaan diriku yang sudah berkeluarga yang mempunyai seorang putra 2,5 tahun dan istriku sedang mengandung 8 bulan. Akhirnya aku pun tahu bahwa Susi adalah menjadi simpanan boss-nya bule asal Amerika yang bernama Richard, namun kini telah meninggalkan Indonesia karena sudah diganti oleh GM baru asal Indonesia. Mata Susi tampak menerawang jauh dan angannya terbang ke Amerika sana namun dia tersadar itu tak mungkin lagi menikmati kebersamaan mereka lagi.

Tepat liburan umum di bulan Januari lalu Susi meneleponku dan mengajak ke Batu, katanya sich dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang ke-29 dan untuk menemaninya (biasanya Susi menghabiskan weekend di sana bersama Richard).

"Mas Sony mau nggak temenin aku ke Batu nanti di acara ultah-ku?" tanya Susi di telepon.
"Emang acaranya apaan?" selidikku.
"Ah.. udah dech pokoknya temenin aku yach, please.." rengeknya setegah memohon.
"Ini khan ultah-ku yang ke-29, please Mas Bram please.. kali ini saja!" pintanya.

Lelaki mana yang sanggup menolak kamu Sus, wajahmu yang cantik, bodi kamu punya, bibir tipis nan sensual waah segalanya deh, bathinku dalam hati. Aku tersadar saat Susi menyambung pembicaraannya lagi.
"Atau aku mesti bilang ke Mbak Santi istri Mas.." imbuhnya.
"Ngg.. nggak usah dech, oke.. oke.."
Buru-buru aku menyergahnya. Sabtu malam ini kami ngobrol berdua dengan istriku dan aku bohong padanya kalau aku besok malam harus menemani tamu Technical Advisor-ku dari Jepang termasuk mencarikan hiburan buat tamuku juga.

Sabtu pagi aku berpamitan pada istriku dan memacu Capella kesayanganku ke arah Malang, aku sendiri sekarang tinggal di Gresik. Namun sebelum itu aku menjemput Susi di rumah kontrakannya di kawasan Surabaya Barat. Selang lima menit aku pencet bel keluarlah Susi mengenakan stelan span deep marine dan atas you can see biru muda, sebuah pemandangan yang amat serasi dan indah.

Sepanjang perjalanan kami hanya ngobrol ringan soal pekerjaan dan kami bersenda gurau di antaranya. Aku tahu Susi adalah wanita yang amat kesepian, aku juga terkadang kasihan melihatnya. Meski dia sukses di kariernya tapi di lain pihak di juga butuh pendamping yang mengisi kekosongan jiwanya.

"Mas Sony, sebelumnya aku minta maaf kalo permintaanku kali ini menyita waktu untuk keluarga Mas," Susi mulai membuka pembicaraan.
"Aku sukses dalam berkarierku dan hidup mewah karena support besar company Mas Sony, khususnya Mas Pribadi dari Mas," kata Susi, (ini karena perusahaanku merupakan big customer bagi dia)."It's OK," jawabku.
"Mas Sony kali ini aku meminta kepada Mas, buatlah dua hari ini berarti buat kekosongan hidupku," pinta Susi.
"Hiburlah aku yang kesepian Mas," pinta Susi lagi.
Cihuy.. sorak aku dalam hati.

Setelah check in kami lantas menuju ke paviliun paling ujung yang mempunyai view sangat indah berpagar bukit dan taman anggrek nan segar dipandang mata. Hawa dingin ini membuatku sedikit malas untuk melakukan aktivitas dan kami menghabiskan kurang lebih satu setengah jam untuk ngobrol. Yach hitung-hitung sekaligus pendekatan kepada Susi karena selama ini hanya sebatas hubungan kerja atau formal bukan suasana privacy seperti saat ini.

Jam tiga sore badanku mulai gerah dan rasanya ingin mengajak Susi berenang di kolam air hangat di Hotel tersebut. Kami pun berenang bersama dan rasanya sungguh nikmat, hangat dan segar.
"Mas Sony masih kelihatan gagah yach," puji Susi saat aku istirahat sebentar dan duduk di tepian kolam.
"Ah Masak sich?" sahutku.
Sepintas aku menangkap gerakan bahwa matanya tertuju pada selangkanganku yang memang sudah hampir 1,5 bulan tidak pernah lagi bersarang. Meski lagi mengkerut akan tetapi dengan celana renang ketat ini pastilah menonjol testisku. Kulihat Susi sedikit menahan nafas karenanya.

Kami lantas berenang dan berenang lagi sampai badanku terasa sedikit capai. Aku lantas berhenti dan melilitkan handukku menuju ke kursi di pinggiran kolam, lalu kuteguk air mineral ukuran setengah liter itu sampai habis. Susi sendiri masih asyik berenang dan tak kusangka tubuhnya yang biasa dibalut jas kerjanya itu kelihatan ramping dan mulus sekali. Aku berdiri melakukan gerakan pelemasan kecilku sambil menikmati tubuh mulus Susi dan Susi semakin merasa aku perhatikan semakin terkesan dibuat-buat gerakannya memancing birahiku.

Aku kemudian rebahan kembali di kursi dam melemaskan ototku, Susi sebentar kemudian naik menyusulku mengambil tempat di sampingku.
"Sus.." panggilku yang aku buat-buat semesra mungkin.
"Hem.." sahut Susi yang ternyata masih menyedot orange juice dan bibirnya itu wah tidak dibayangkan dech kalau lagi menghisap punyaku ini.
Dan perlahan namun pasti penisku mengeras menyembul di bawah belitan handukku, lalu aku sedikit naikkan pinggulku agar Susi juga dapat menikmati apa yang ia inginkan sesaat lagi.
"Ada apa Mas..?" tanya Susi sedikit serius namun matanya melirik ke arah penisku yang sudah setengah mengeras.
"Enggak, cuman aku melihat hari ini kamu lebih seksi," rayuku.
"Emm.. gimana yach kalo si kekar dan si seksi bersatu yach.." tanya Susi mengerlingkan mata kirinya.
"Pengin tau jawabnya? Hayo kita ke markas," ajakku seraya membimbingnya berdiri.

Kami lantas berjalan bergandengan menuju paviliun kami menginap.
"Emh belum-belum khok udah loyo," ejekku kepada Susi dan berlari kecil meninggalkannya.
"Eh sialaan.." teriak Susi lalu mengejarku yang berlari ke arah Paviliun itu.
"Mas Sony, gandeng doong.." rengek Susi manja disela-sela nafasnya yang terengah-engah.
Kami pun bergandengan mesra bak orang pacaran dan semua terjadi spontan. Aku tak ingat lagi istri dan anakku di rumah saat ini, yang kuinginkan hanyalah kenikmatan dan kehangatan tubuh Susi untuk melampiaskan libidoku.

Kami memasuki paviliun itu dan duduk di sofa besar menghadap ke arah bukit indah. Matahari serasa mengintip kami dari balik bukit itu dan enggan menutup tirai hari ini dan dilain pihak kami sudah ingin segera menikmati malam indah nanti. Kami duduk berdampingan menikmati alunan musik lembut dan pemandangan yang mempesona di bukit sana.
"Lis, aku sebenarnya.. sedikit.. emmhh.." kataku ragu.
"Mas Sony, aku adalah wanita normal dan punya hasrat seks akan tetapi Mas Sony jangan khawatir padaku, aku nggak bakal minta macam-macam dari Mas Sony dan kita hanya bersenang-senang saja, just fun," kata Susi semakin memantapkan rasa hatiku.
"Lagian nggak mungkin karena aku tahu Mas Sony punya keluarga yang bahagia," imbuh Susi.
"Bukankah istri Mas juga tidak boleh melayani lagi karena bahaya bagi usia kandungannya," bela Susi seraya melingkarkan kedua lengan rampingnya ke leherku.

Aku kemudian mendekap Susi, terasa hangat dan lembut tubuh indah ini lalu kudekatkan wajahku ke arah wajahnya. Kami bertatapan cukup lama dan penuh arti, kulihat dari tatapan matanya Susi sudah betul-betul horny demikian pula aku yang sudah 2 bulan lalu tidak mengasah batang pejal kebangganku. Sekejap bibir kami mulai menyatu dalam alunan kemesraan berselimut hasrat bergelora. Ujung lidah kami bergantian menggelitik rongga mulut kami masing-masing.
"Mass.. oohh puaskan aku yach sayang," rengek Susi di sela-sela desah nafasnya yang memburu deras.
"Segera sayang, saatnya sebentar lagi tiba. Aku akan membawamu ke langit tujuh," bisikku sambil melepas satu persatu kain di tubuhnya.

Udara dingin yang bersentuhan langsung dengan pori-pori Susi menambah sensasi dan rindu akan sentuhan dan juga rabaan-rabaan maupun jilatan sekujur tubuhnya. Kali ini aku akan memperlakukannya bak seorang putri maka akan berbahagialah Susi dalam dua hari ini. Setelah memakaikan dia sleeping jas, aku kemudian mengajaknya berdiri di dekat jendela menikmati senja nan indah dan syahdu ini, aku mendekapnya dari belakang dan belakang telinganya mulai kusentuh dengan ujung lidahku.

"Mass.. oogghh.." Susi hanya bisa mendesah dan mengesek kedua pahanya.
"Sudah Berapa lama Say.." bisikku di sela-sela permainanku di belakang telinga dan tengkuknya.
"Tiga bull.. aa.. aahh.. gellii," pekik Susi sambil membalikkan tubuhnya menghadapku.
Wajah penuh gairah itu mendongak ke arahku dan kulumat bibirnya sementara tanganku mulai menanggalkan semua yaang tersisa di tubuhnya.
"Masshh.. oogghh.. mmpphh," Susi menceracau sambil melucuti pakaianku.
Kami sudah telanjang bulat bersama sambil berdansa seirama alunan musik hotel, tubuh kami menyatu dan saling dekap dalam kelembutan dan kehangatan birahi dan tetap berdansa dalam irama kelembutan.

Tangan Susi melingkar di tengkukku dan kulingkarkan tanganku di pinggangnya, namun kemudian kuturunkan ke arah bongkahan pantatnya dan meraba serta meremas lembut. Pada saat itulah Susi melepaskan bibirnya untuk melenguh sejenak menikmati rabaan serta sentuhanku. Penisku sedari tadi mengeras tegak itu menempel di perut Susi membuat sensasi kehangatan di antara kehangatan tubuh kami.

Bersambung . . . . .

Nafsu bukanlah cinta - 2

Cukup lama kami berdansa dan entah sudah berapa lagu kami lewati bersama namun aku tidak ingin segera mengakhiri foreplay ini karena aku ingin Susi lebih dapat menikmati keromantisan ini lebih lama lagi. Aku membimbingnya ke arah Sofa dan kududukkan Susi di pangkuanku, kami pun semakin tenggelam dalam suasana, namun aku tetap berusaha menguasai diri. Pangkal penisku tepat bersentuhan dengan vaginanya yang terasa sudah amat merekah karena rangsangan hebat dan lelehan mani Susi semakin deras terasa menetes ke "telor"-ku. Cumbuan demi cumbuan dan rabaan serta sentuhan sudah kulakukan terhadap Susi. Bibirku sudah pindah ke arah dada Susi kukulum payudara yang kiri dan tangan kananku memilin puting yang kanan, punggungnya aku beri sentuhan dengan tangan kiriku. Susi semakin tak mampu menguasai birahinya yang sudah di ubun-ubun tubuhnya menggelinjang hebat.

"Ooogghh.. aahhkkhh.. please.. masukin.. mass.. sshh," desis Susi sambil menjambak rambutnya sendiri. Bibirnya mendesis tubuhnya ia jatuhkan ke belakang dan bertumpu pada lenganku. Kesempatan itu kugunakan untuk melirik ke arah vaginanya yang merekah menebar bau semerbak, aku tertegun sejenak karena sebelumnya aku belum pernah melakukan ini terhadap istriku atau wanita lainnya. Namun aku yakin (seperti di cerita-cerita situs ini) jika kujilat vagina Susi hal ini akan mampu membuat Susi menggapai orgasmenya lewat hisapanku nanti.

"Soonnhh.. cepp.. peethh.. issepphh.." rengek Susi terengah-engah saat aku mulai mencumbui bagian bawah perutnya yang indah.
Aku tak menjawab namun segera kududukkan Susi di sofa, kedua pahanya kuletakkan di pundak dan mulailah aku dengan jilatanku di vagina Susi. Vaginanya harum bentuknya pun begitu indah dan masih sempit rambutnya tercukur bersih.
"Ssshh.. oouuwww.. aagghh.. pleasee.." pinta Susi diikuti penekanan kepalaku ke arah selangkangannya.
Sekejap kemudian aku memainkan kasarnya permukaan lidahku untuk menjilat bibir minoranya yang merekah dan Susi hanya bisa menjerit lirih menahan orgasmenya yang begitu cepat datang. Sudah tiga bulan, pantas saja sekejap sudah mencair birahi wanita ini, bathinku dalam hati. Aku menyambutnya dengan patukan dan juluran lidahku di dinding rahimnya lalu kukeluar-masukkan lidahku bak penis selagi memompa vagina secara teratur dan lembut.

"Aaawwuughh.. aaghh.. aaghh.. sshh.. Maasshh.." Susi mengawali orgasmenya dengan jeritan panjang.
Aku menyambutnya lagi dengan menghisap vaginanya dalam-dalam, aku sundut-sundut dengan interval yang lembut teratur. Dan benar dugaanku kali ini, orgasmenya yang kedua segera menyambung membuatnya semakin ngilu dan geli yang amat sangat.
"Aaagghh.. kuu.. llaaghh.. gii.. aakkhh.." Susi mendongak, kedua tangannya mencengkeram erat sofa.
"Ogghh.. Masshh.. aaghhghh.. aakkhh.. aahhghh.." Susi mendesah mengakhiri orgasmenya.

Aku berhenti untuk membersihkan mukaku dan menjilat sisa-sisa mani Susi yang terlihat meleleh menetes hingga anusnya.
"Mass.. aakhh.. please," pinta Susi kegelian saat aku membersihkan sisa maninya di sela-sela labia minora-nya. Aku kembali duduk di sofa dan mendudukkan Susi di pangkuanku, dan sebelum duduk Susi ambil ancang-ancang untuk menancapkan penisku.
"Slerrphh.. aakgghh.. hangatthh.." suara penis membongkar vagina dan desahan Susi bersamaan 3/4 penisku dengan mudah tenggelam menjejali vagina Susi.

Susi duduk tegak, kedua tangannya membelai rambutnya, matanya terpejam menggigit bibir bawahnya, kemudian ia buka mulutnya saat mendesah bergantian, pinggulnya digoyangkan perlahan sesekali dan pada saat yang tepat ia hentakkan ke pangkal penisku. 16,5 cm penisku telah masuk mengisi rongga rahimnya membuat sensasi kehangatan dan nikmat bercampur jadi satu.
"Oookkhh.. hangatthh.. aakkhh.. Masshh.. puassinnhh.. aku.." pinta Susi diiringi dengan gerakan naik-turun pinggulnya seperti seorang joki.

15 menit berlalu, tampaknya Susi masih tenggelam dalam alunan sorgawinya dan kuperhatikan dari tadi matanya tampak terpejam menikmati sensasi ini. Aku sendiri mengimbangi goyangan Susi dan menunda ejakulasiku, karena aku amat kasihan melihat Susi yang haus akan kenikmatan birahi.Aku berusaha menambah rangsangan dengan menggesekkan telunjukku ke anus Susi yang sebelumya kubasahi dengan ludahku. Tepat saat ujung telunjukku memasuki anus Susi, Susi tampak sedikit terkejut dengan membuka matanya lebar-lebar dan sekejap kemudian terpejam dan tubuhnya menegang.

Wajahnya menyeringai, kedua tangannya mencengkeram punggungku erat-erat dan menarik tubuhnya menjauh dariku, tampaknya moment inilah yang Susi tunggu sejak tadi.
"Ngghh.. aagghh.. aakhh.. aakkh aahhgghh.." Susi mulai mendapatkan orgasmenya yang nyata yang ia pendam selama tiga bulan.
Pinggulnya ia goyangkan keras tak beraturan demikian pula hentakan pinggulnya dan beruntung rambut kemaluanku sudah aku cukur bersih sehingga terbebas dari rasa sakit akibat himpitan saat vagina menghujamnya. Lelehan maninya sampai ke pangkal telunjukku yang diam di anusnya kemudian telunjukku yang sudah licin tadi kutusuk-tusukkan lebih keras dan dalam di rongga anusnya. Susi semakin menghentak dan bergelinjang tak karuan menyambut orgasmenya yang keempat.

"Aaargghh.. aagghh.. oohhgghh.. aakk.. akkhh.. kell.. luaarr aaghh.." Susi menjerit keras menggapai orgasmenya kali ini.
Vaginanya terasa hangat dan terasa lebih menggelembung dari pada tadi.
"Ooghh.. oommpphh.. aagghh.." desah Susi tampak lega mengakhiri orgasmenya.
Aku sengaja menunda orgasmeku agar weekend kali ini betul-betul lain dari yang lain bagi Susi. Lalu kurengkuh kepalanya, kemudian kukecup mesra bibirnya, kulepas, lalu kutatap lembut wajahnya, ekspresi kepuasan terpencar dari sudut matanya yang bening. Masih tetap menancap penisku di rahimnya, kemudian kami berdekapan mesra lama sekali.

"Sus.." tanyaku.
"Hem eemhh.. makasih Mas Sony," jawab Susi puas.
Karena capek Susi melepas gigitan vaginanya dan menghempaskan dirinya di sofa.
"Aahgghh.." lega dan tiga menit Susi pun tertidur di sofa lalu aku mengambil selimut hangat untuk Susi.
Setelah mengambil handuk dan mencuci penisku dengan shower hangat di kamar mandi, aku mengambil sleeping jas-ku, kemudian menghampiri Susi di sofa. Kubelai lembut Susi dan kuletakkan kepalanya di pahaku. Aku terdiam menikmati senja yang mulai gelap, tak kulihat lagi indahnya bukit di seberang hotel yang tampak hanya lampu kerlap kerlip di kejauhan. Karena udara semakin dingin menusuk ke tulang rasanya maka aku menggotong Susi ke tempat tidur dan kudekap hangat ia di dadaku di balik kehangatan selimut kami.

Tiga puluh menit Susi terlelap, belum ada tanda-tanda ia terjaga membuatku sedikit gelisah karena penisku kembali tegak berdiri.
"Mmmpphh.. ooaakhh ampph.. hahh.." Susi tampaknya terjaga dan ia kaget mendapati penisku mengeras.
"Sebentar Yach Mas, aku ke kamar mandi dulu, entar gantian Mas aku puasin," kata Susi datar seraya berlari kecil ke kamar mandi.

Aku kemudian melepas sleeping jas-ku dan mengelus-elus penis kebanggaanku yang kokoh berdiri tegak. Dari kamar mandi Susi menghampiriku dan menepis tanganku dari penisku dan kini mulut mungil Susi mulai mengulum kepala penisku. Batang penisku ia kocok-kocok lembut terkadang ia remas hingga ke kedua biji kemaluanku.
"Oookhh Suss.. sshh.." aku hanya dapat mendesis menikmati kocokan tangan lembut ini.
"Oookkhh.. lebih kerass.. ssaayy.." ceracauku tak karuan karena ejakulasiku tertunda.
Susi lebih keras lagi mengocok dan diselingi kuluman-kuluman di sepanjang batang penisku.

Kulihat Susi menggengam batangku dan terlihat kepala penisku menyembul di antara genggaman tangannya. Ujung lidah Susi beradu dengan ujung kemaluanku tepat di lubang sperma penisku dan Susi mematuk-matukkan lidahnya tepat di situ, rasanya badan ini bergetar hebat dan ngilu yang amat sangat. Kedua pahaku otomatis terbuka lebar dan Susi menempatkan tubuh rampingnya di antara kedua pahaku. Aku semakin tak tahan dengan permainan Susi, kucengkeram erat rambutnya menahan rasa geli.
"Suusshh.. ooghh.. Suss.." aku mendesis berusaha menahan laju spermaku.
"Bocorin saja Mas.. ayo sayang..!" kata Susi sambil melihat ke wajahku yang sedang kelojotan kemudian meneruskan patukan lidahnya yang semakin nakal dipadu dengan kocokannya yang lembut.

Aku melirik ke arah Susi, tampak wajahnya puas mengerjaiku kali ini.
"Aaakhh.. Susshh.. mmpphh.." desahku menikmati permainan oral Susi.
Aku semakin tak tahan dengan sensasi yang dibuat Susi apalagi ia melakukannya juga dipadu dengan pilinan lembut jemari kirinya di puting susuku. Aku berusaha mati-matian menahan laju spermaku, namun usahaku itu sia-sia, tiga detik kemudian aku melenguh panjang menyambut sensasi yang segera datang.
"Suuss.. hisapphh.. Sayy.. aku mauu.. kell.." pintaku tak sabar.
Susi tanggap, kemudian menghisap dalam-dalam kepala penisku, sedetik kemudian.. "Arr.. aakhh.. aakkhh.. aakhh.." aku terpekik melepas semburan maniku di mulut mungil Susi.

Ditelannya semua spermaku hingga ke tetes terakhir dan penisku semakin terasa kasat dibuatnya. Masih tetap ia kocok penisku sehingga tetap pada kondisi tegang terus meski sudah menyemburkan mani kental. Apalagi sudah dua bulan tidak bersarang, pastilah burungku akan menegang sampai menemukan sarangnya.

Aku kemudian mengulum bibir Susi sementara Susi masih mengelus penisku dengan lembut. Susi rupanya ingin menikmati seks ini dengan alami karena ia merebahkan dirinya di sampingku, lalu aku melingkarkan pahaku di atas kedua pahanya. Bibirku kini sudah berada di puting kiri Susi untuk mengerjakan tugas berikutnya, yaitu menggigit-gigit kecil disertai remasan-remasan.
"Mpphh.. oowwghh.. mm.. Maashh.." tampaknya birahi Susi mulai bangkit dari tidurnya.
Tangan Kiriku juga tak tinggal diam untuk memilin puting kanannya.
"Aaaww mmpphh.. sshh.. Mass.. kamu hangat sayang.." puji Susi ketika aku mulai menindih tubuhnya dan mencumbui kedua ketiaknya secara bergantian.
"Oooghh.. aahhgghh.. kamu jantan Sayangg.. aku mencintaiimu," Susi terus memujiku, tampaknya permainan lembutku membuatnya lupa diri.

Dari rabaan telunjukku tampaknya Susi sudah siap jika penisku membongkar rahimnya lagi karena sudah lembab.
"Aku masukin yach Say.." tanyaku.
Susi lalu mencumbui aku dengan lembut namun telapak tangan kanannya meremas pantatku lalu menekannya.
"Blesshh.." dengan mudah masuk seluruh batang penisku karena vagina Susi sudah lembab dan licin akan sisa-sisa spermaku sore tadi.
"Maasshh.. aakk," Susi mendesah panjang menyambut kehangatan yang mulai menjalar ke semua rongga rahimnya.

Kami bercumbu bersama tanpa melakukan goyangan, namun sesekali aku memainkan otot penisku di liang vagina Susi membuat Susi kelojotan menahan geli bercampur nikmat.
"Aaahh mmphh.. aah sshh.. aaghh.. ooghh.. nikmath.." desah Susi.
Kami masih bergumul dalam irama syahdu diiringi desah kelembutan nafas, entah nafsu atau cinta aku pun tidak peduli. Badan Susi semakin menghangat tanda-tanda ia menjelang puncak nafsunya. Aku mulai memompa penisku lembut dalam irama teratur semetara kedua tanganku memilin dan meremas kedua bukit indahnya.

Tubuh Susi semakin terhentak kala tempo permainan hentakanku semakin kutambah, hal ini karena sensasi yang aku rasakan juga semakin nikmat. Penisku terasa tergigit oleh labia minora-nya kala aku menusukkan penisku dalam-dalam dan terasa terhisap kala aku menarik penisku. Pompaan penisku semakin kencang sampai badan Susi terhentak, namun Susi hanya merengek manja, melenguh, mendesah dan menjerit lirih kala sedikit gesekan penisku membuat vaginanya ngilu.

15 menit berlalu, kepalanya kulihat mulai menoleh ke kiri dan ke kanan tak beraturan, wajahnya memerah oleh birahi, tubuhnya terasa lebih hangat dan vaginanya mengempot teratur. Tubuhnya lalu menegang, kedua tangannya lantas dibuka lebar-lebar ke atas, berpegangan pada sisi tempat tidur untuk bersiap-siap melepas orgasmenya yang akan dahsyat. Aku membantu menstimulasi gesekan penisku dengan klitorisnya yang kenyal di bagian tubuh lain, aku mencumbui kedua ketiak Susi bergantian. Susi merasakan terbang di langit yang tinggi beralaskan putihnya mega yang menyelimutinya dan shatin tempat tidur ini memberi inspirasi seolah kami bercumbu di awan yang lembut.

"Sus.. I love you.." bisikku spontan kala mendapati wajahnya yang cantik rupawan, memang dia adalah tipeku, tipe-tipe wanita langsing seperti dia.
"Ahhghhku.. juhhggaa.. Masshh," Susi membalas cumbuanku dengan buas.

Kali ini Susi diam membisu dan tubuhnya mulai menegang, diam dan matanya terpejam memancarkan ekspresi mendalam. Aku lalu melesakkan dalam-dalam penisku terasa mentok sampai ke dasar dan aku diamkan di sana sambil aku mainkan otot-otot penisku. Sedetik kemudian datanglah apa yang Susi rindukan, "Maasshh.. aagghh aaghh aakkhh.. aahkkuu.. ssaamm.." Susi mengawali orgasmenya dengan lengkingan panjang. Putingnya kini aku gigit-gigit kecil dan lereng bukit payudaranya aku remas lembut dan tampak Susi masih mendesah meregang orgasmenya yang pertama.

Stimulasi di putingnya membuatnya menggapai orgasmenya yang kedua dan ketiga secara bersamaan.
"Ooouugghh.. aakku.. lahhggi.. aagghh.." Susi menggelinjang tak karuan.
Tangannya mencakar punggungku menahan geli bercampur yang amat sangat kala aku semakin cepat memompa lagi penisku. Cairan mani Susi yang banyak menyebabkan bunyi-bunyi saat penisku menghujam vagina Susi dan semakin melicinkan tusukanku saja, dan yang kutunggu segera tiba.

"Susshh.. aahku.. mmpphh.." gumamku sambil menggenjot penis dan meremas puting Susi.
"Masshh.. aagghku.. jugaa.." balas Susi.
"Oouumpphh.. aa.. aa.. aaghh," teriak kami bersamaan, persetan dengan orang lain yang mendengarnya.
Maniku mengalir deras bersamaan dengan Susi yang kurasakan hangat di sepanjang batang penisku. Kami pun terbawa arus orgasme bersama yang sensasional bergumul, mencumbui, menggigit kecil bergantian dan nikmat "langit tujuh" bagi Susi sudah ia dapatkan dan juga aku.

Susi masih tetap dalam dekapanku dan tak ingin kulepaskan untuk selamanya saat penisku terlepas dari gigitan vaginannya. Aku melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 09:00 malam dan itu berarti kami sudah bercinta lebih kurang 5 jam sejak sore tadi. Kami lalu berendam di bath tub hangat dan tidak melewatkan satu ronde di sana sebelum kami keluar bersama mencari makan dan minuman energy serta gingseng.

Setelah itu kami kembali ke hotel lagi dan menghabiskan malam dengan berbagai gaya bercinta seperti yang kami lihat di channel video kamar kami sampai jam 03:00 pagi, setelah itu kami tertidur karena lelah. Dua hari kami habiskan menguras mani kami masing-masing sebelum akhirnya kami berpisah di Surabaya.

Para pembaca, nafsu memang bukanlah cinta karena seseorang bisa bilang cinta saat diselimuti nafsu, demikian pula sebaliknya. Salam bagi semua dan semat beraktivitas apa saja, mau diteruskan beronani atau bermasturbasi ria silakan.

TAMAT

Rahasia dapur

Sejak aku dan Eksanti memiliki keberanian untuk bercinta di tempat kostnya, aku semakin sering mampir ke sana. Eksanti sendiri nampaknya juga tidak terlalu khawatir bahwa teman-teman di kostnya akan curiga dengan hubungan kami. Toh banyak pula diantara mereka yang sering mengundang pacarnya untuk menginap di tempat kost itu.

Selain itu, hubungan Eksanti dengan Mas Yoga-nya juga belum terlalu membaik. Sebenarnya Eksanti sendiri juga sudah mulai melupakan 'pengkhianatan' yang dilakukan Yoga, dan mau saja ia memaafkannya. Bagaimanapun Eksanti juga merasa telah melakukan hal yang sama terhadap Yoga, dengan menerima kehadiranku di sisinya. Yoga sendiri, walaupun masih sangat mencintai Eksanti, namun belum memiliki keberanian untuk datang menemui Eksanti kembali. Seperti kejadian malam itu..

Eksanti mengundang aku untuk datang ke tempat kostnya Jumat siang itu, ia akan memasak nasi goreng sosis kesukaanku. Eksanti juga mengatakan di telepon, dengan suara manjanya, bahwa aku bukan hanya diundang makan malam. Aku juga diminta untuk menemani rasa sepinya dengan menginap di sana. Aku terbahak mendengar ucapan Eksanti yang terus terang itu. Permintaan Eksanti memang masuk akal. Akhir minggu itu memang hari-hari terakhir menjelang libur panjang akhir tahun, sehingga seluruh teman-teman kostnya telah pulang ke daerah asal mereka masing-masing. Sementara, ibu kost meminta Eksanti tinggal sampai dengan hari Minggu malam untuk menjaga rumah, karena mereka sekeluarga akan pergi ke Bandung untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu saudaranya. Sehingga akhirnya hanya ada Eksanti seorang diri di pavilion kost, sementara soerang pembantu lain tinggal di rumah induknya.

*******

Ketika aku tiba di rumah kost Eksanti, ia tampak sedang menyiapkan nasi goreng sosis di sebuah pantry kecil di dalam pavilion itu. Ia segera menawarkan minuman kepadaku dan mempersilakan aku untuk mengambilnya sendiri dari dalam kulkas kecil di sudut pantry itu. Aku memilih sekaleng coca cola kesukaanku. Sambil mengobrol kiri-kanan, Eksanti meminta maaf kepadaku, karena ia harus kembali bekerja di pantry untuk menyiapkan makanan.
Aku mengatakan, "Nggak masalah, Santi ", lalu ikut menyusulnya ke pantry yang terletak di bagian belakang kamarnya.

Aku berdiri di pintu pantry dengan sekaleng coca cola dingin di tanganku, melihat Eksanti sibuk mencuci sayuran segar untuk pelengkap nasi gorengku nanti, di sebuah pinggan keramik bermotif ikan-ikan kecil warna-warni. Pantry di rumah kost Eksanti, walaupun ukurannya relatif kecil tetapi sangat bersih. Di tengah-tengah ruangannya terdapat sebuah meja, tempat Eksanti saat ini menyiapkan masakannya itu. Tubuhnya membelakangiku, hanya dibungkus rok span pendek dari kain tipis dan badannya dibalut kaos tanpa tangan. Sambil berbicara kesana-kemari, aku diam-diam memandangi tubuh itu. Jelas sekali, tubuhnya yang menggairahkan itu tidak memakai sepotong pakaian dalam pun. Tidak ada celana dalam, tidak ada bra. Kain tipis yang dipakai sebagai rok itu, tak mampu melindungi cahaya menerawang, memperlihatkan bayangan dua paha yang mulus. Kaosnya juga terlalu sempit, tidak bisa menyembunyikan keindahan payudaranya yang padat membusung itu.

Pemandangan seperti itu adalah magnet yang amat kuat, menarikku untuk segera mendekat. Diam-diam aku meletakkan kaleng minumanku, lalu berjalan tanpa suara. Sekejap aku sudah sampai di belakang Eksanti, dekat sekali.. sehingga seluruh harum tubuhnya tercium dengan jelas. Lalu aku mencium tengkuknya.
"Hei..!" Eksanti menjerit kaget, "Mas, jangan nggangguin Santi dong.., ntar makanannya jadi nggak enak lho!".
Aku tidak peduli. Aku terus menciumi tengkuk yang dipenuhi rambut-rambut hitam halus itu. Harum sekali tengkuk itu. Eksanti menggeliat, mencoba menghindar. Tetapi nyatanya ia tidak sungguh-sungguh menghindar. Cuma bergerak-gerak sedikit saja. Apalagi aku kini mendesak ke depan, menyebabkan Eksanti terjepit di antara tubuhku dan meja pantry-nya. Tanganku mengusap-usap bukit indah di belakang Eksanti, sesekali meremasnya. Tanganku yang lain telah merayap ke depan, menjamah sebuah payudara Eksanti yang bergoyang-goyang seksi setiap kali ia menggelinjang.
"Oocch, Mas.. jangan sekarang..," Eksanti mendesah, menggerak-gerakan bahunya mencoba menhindari ciumanku di sepanjang pangkal lehernya.
Tetapi dalam hatinya, ia berkata lain, dan berharap aku tidak segera mengakhirinya.

Aku memang tidak berhenti. Tanganku merayap ke bawah, menyingkap rok yang dikenakan Eksanti. Memang betul, ia tidak bercelana dalam, dan pemandangan indah segera terpampang. Eksanti memiliki bagian belakang yang mempesona, kenyal-padat dan menonjol mengundang selera. Dengan gemas aku meremas-remas, membuat Eksanti menjerit kecil sambil menahan geli. Kedua tangan Eksanti kini tak bisa meneruskan pembuatan nasi gorengnya, dan berpegangan di bibir meja, antara bertahan dan menyerah. Dengan jari tengahku, aku menelusuri celah sempit di antara dua bukit kenyal di bokong yang seksi itu. Eksanti menggelinjang merasakan kenikmatannya mulai terbangun di bawah sana. Apalagi lalu jari itu semakin lama semakin ke bawah, lalu agak ke depan, menyelinap ke gerbang kewanitaannya dari belakang. Wow! Eksanti merenggangkan kedua pahanya, tidak tahan mendapat perlakuan seperti itu.

Sementara tanganku yang lain kini masuk menelusup ke kaos Eksanti, menjalar menuju bukit payudaranya yang membusung. Oocch.., hangat sekali telapak tanganku merayapi perutnya, naik ke bagian bawah dadanya, lalu menyelinap di antara kedua payudaranya, sebelum akhirnya naik ke salah satu puncaknya.

Eksanti menggeliat dan mengerang pelan ketika telapak tangan itu berputar-putar ringan di atas puting susunya. Oocch.., geli sekali rasa puncak-puncak payudara Eksanti, membuat tubuhnya bergetar pelan. Kepala Eksanti berputar-putar seperti seorang olahragawan sedang warming up, karena bibirku menjalari lehernya, mengendus-endus tengkuknya lagi, membuat Eksanti kegelian.

Tiba-tiba aku membalikkan tubuh Eksanti, membuat ia menjerit kaget. Dengan segenap kekuatanku, aku sanggup memutar tubuh rampingnya dengan cepat. Tidak itu saja, aku bahkan sudah mengangkat Eksanti dan mendudukkannya di atas meja pantry yang di sana-sini dipenuhi bahan-bahan mentah masakannya: nasi putih, sosis, sayuran, sambal, saus tomat, minyak dan mentega. Lalu, aku berjongkok, dan Eksanti tahu apa yang akan aku lakukan. Dengan gerak cepat, aku menyingkap roknya, sehingga membuat kewanitaannya terpampang bebas dalam terang lampu pantry yang bagai siang hari. Jelas sekali terlihat kewanitaan Eksanti yang terbalut bulu-bulu hitam lebat tetapi sangat rapi karena baru dicukur, harum karena baru dibasuh sabun wangi.

Bentuknya menyerupai buah ranum dengan belahan di tengah, menggiurkan sekali. Belahan itu lah yang segera aku ciumi, akut telusuri dengan lidahku, membuat Eksanti merintih nikmat dan memperlebar kangkangannya. Aku pun membantu dengan tanganku, mendorong kedua paha Eksanti agar lebih jauh terbuka.

Kewanitaan Eksanti seperti direntang, kedua bibir-bibirnya yang tebal itu terkuak, menampakkan lembah merah-muda yang halus seperti sutra dan licin seperti diminyaki. Aku menjilati bagian yang terkuak itu, mendesak-desakkan lidahku yang panjang ke dinding-dinding kewanitaan Eksanti, menimbulkan perasaan yang tak terperi dalam dirinya.
"Occhh.., acchh.., ngg..," cuma itu yang bisa keluar dari mulut Eksanti.
Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan kenikmatan yang sedang dirasakannya.

Eksanti tak kuasa menahan tubuhnya rebah di meja pantry. Untunglah meja itu cukup lebar untuk menampung seluruh badannya, walau kedua kakinya tetap bergelantungan, disangga oleh bahuku. Rasa geli dan nikmat menjalar ke seluruh tubuh Eksanti, meletup-letup seperti air mendidih. Apalagi ketika lidahku bermain-main di daging kecil yang menonjol dalam lempitan bagian atas kewanitaannya. Aku menggunakan jari-jariku untuk menguak persembunyian "Si Kecil Merah" itu, menarik ke atas kulit tebal yang menyembunyikannya, sehingga tonjolan kecil yang berdenyut-denyut lemah itu kini bebas terbuka. Dengan ujung lidahku, aku menjilati si kecil, mengirimkan sejuta kenikmatan yang menjalar cepat ke seluruh tubuh Eksanti, membuat wanita itu merintih-rintih dan mengerang keras. Salah satu tangan Eksanti tak sengaja menyentuh botol saus tomat, menyebabkan isinya tumpah di atas meja. Terkejut, Eksanti bangkit dan memintaku berhenti sebentar. Bukan saja ia ingin menghentikan tumpahan saos tomat, tetapi ia juga punya ide cemerlang!

Aku menghentikan ciumanku, sambil tetap menyenderkan kepalaku di paha Eksanti yang putih mulus itu.
Lalu aku mendengar Eksanti berkata, "Kita main-main dulu yaa.., Mas?"

Belum lagi aku menjawab dan mengerti apa maksud ucapannya, Eksanti telah menuangkan saos tomat ke kewanitaannya. Tersentak, aku mengangkat wajahku dan memandang takjub, melihat saos tomat berleleran keluar dari botol dan memenuhi celah kewanitaan Eksanti. Acch,.. sebuah permainan baru!
"Mas, bersihkan saus tomat itu dengan mulutmu, please..," desah Eksanti nyaris tak terdengar.
Botol saus tomat telah diletakkannya kembali.

Tanpa banyak bicara, aku langsung menjilati saos tomat itu. Eksanti mendesah, memandangi kewanitaannya dilahap oleh mulutku. Oocch.., menggiurkan sekali pemandangan itu. Nikmat sekali rasanya "dimakan" seperti itu, dibumbui saos tomat. Eksanti mengerang, merasakan orgasme pertamanya akan segera tiba. Ia merebahkan kembali tubuhnya ketika aku tidak lagi hanya menjilat, tetapi juga mengulum-ngulum "Si Merah Kecil" yang dipenuhi saos tomat, menyedot-nyedotnya seperti hendak membuatnya licin bersih. Seketika, Eksanti merasakan klimaks yang bergelora menyergap seluruh tubuhnya, dimulai dari selangkangannya dan menyebar cepat ke atas, membuatnya menggelepar-gelepar seperti ikan kehabisan air. Aku terus menyedot, mengulum, mengunyah-ngunyah. Eksanti berteriak-teriak kecil, tak tahan menerima kenikmatan yang bertubi-tubi itu.

Lalu permainan kami semakin menggila. Semakin spontan. Aku menemukan sebuah sosis matang tergeletak di dekatnya. Aku mengambil sosis sebesar ibu jari itu, dan sebelum Eksanti tahu apa yang terjadi, sosis itu telah melesak ke dalam kewanitaannya. Tadinya, Eksanti mengira itu salah satu jariku, dan ia mengerang merasakan kenikmatan diterobos daging licin. Tetapi dengan takjub ia kemudian sadar bahwa "jari" itu perlahan-lahan aku makan, aku tarik keluar sedikit-demi-sedikit. Eksanti bangkit lagi, memandangiku dengan lahap memakan sosis yang agak basah berlumuran cairan cintanya. Aacch.., menggairahkan sekali pemandangan itu. Dengan segera Eksanti mengambil lagi sebuah sosis. Ketika sosis pertama selesai aku makan, dengan segera Eksanti memasukkan sosis yang baru. Dengan cepat sosis ini aku makan pula. Lalu yang ketiga. Keempat..

Eksanti meregang merasakan kenikmatan yang unik menyerbu tubuhnya. Orgasme datang lagi bertubi-tubi, sementara aku merasa birahiku semakin meningkat setelah menikmati sosis yang fresh from the oven itu!

Aku bangkit, mengeluarkan kejantanan dari celanaku. Besar dan tegang sekali kejantananku. Eksanti melirik ke bawah dari posisi berbaringnya.. Oocch, memandang kejantananku saja sudah cukup memberinya semangat baru. Eksanti sangat menyukai milikku yang satu itu, sangat kenyal dan kuat, mampu bertahan dalam percumbuan yang panjang menggairahkan. Sambil mengerang, Eksanti membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, meletakkan tumit-tumitnya di pinggir meja. Dengan posisi seperti ini, Eksanti bagai hewan kurban yang siap disembelih, di atas altar kenikmatan yang dipenuhi bahan-bahan masakan!

Pelan-pelan aku menuntun kejantananku memasuki gerbang kewanitaannya. Kenyal sekali liang yang basah oleh aneka cairan itu, termasuk saos tomat dan kuah sosis. Aku mula-mula menggosok-gosokan bagian kepala dari kejantanannya yang telah membesar itu. Oocch.., Eksanti merasakan kegelian yang amat-sangat, membuatnya bergidik-bergeletar.

Lalu, perlahan-lahan aku mendorong kejantanannya masuk. Perlahan sekali, mili demi mili batang-otot yang panas-berdenyut itu melesak ke dalam.
"Ah.. acchh.. acchh.. acchh.." Eksanti mengerang setiap kali kejantananku menerobos masuk. Setiap mili gerakanku menimbulkan percikan nikmat, sehingga ketika akhirnya seluruh kejantanan itu tenggelam di dalam kewanitaannya, Eksanti langsung mencapai orgasme ketiganya. Cepat sekali puncak birahi itu datang bergantian. Padahal aku belum lagi bergerak maju-mundur.

Aku lalu menaburkan sayuran yang tadinya tengah dicuci dan dipersiapkan sebagai pelengkap nasi goreng di atas dada Eksanti yang sedang berguncang-guncang. Warna hijau, kuning dan merah segera menghiasi tubuh putih mulus itu. Eksanti kegelian merasakan daun-daun yang basah dan dingin melekat di tubuhnya yang panas terbakar birahi. Rasa yang amat kontras ini -panas dan dingin- menambah rangsang baru di diri Eksanti. Betul-betul unik permainan cinta kami kali ini. Betul-betul spontan dan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang selama ini diimpikan Eksanti jika bercinta. Beruntung sekali ia mendapatkan pasangan bercinta sepertiku.

Sambil mulai menggerak-gerakan pinggulku, menghujam-hujamkan kejantananku, aku pun menunduk mulai memakani sayur-sayuran. Eksanti telah pula menaburkan saus tomat dan mentega cair di atasnya, sehingga benar-benar menjadi santapan lezat. Sedap sekali rasanya memakan sayur segar di atas tubuh wanita yang menggairahkan ini. Sambil menikmati pula cengkraman otot kenyal di bawah sana yang mengurut-urut kejantananku. Wow!

Aku bagai berada di langit ke tujuh. Fantasi seksualku tersulut dengan cepat, membakar badanku, menyediakan energi berlipat ganda untuk terus bercumbu dan bercumbu lagi.

Eksanti merintih-mengerang merasakan bagian-bagian dari tubuhnya ikut tergigit ketika aku menyantap "sayuran" di atas tubuhnya. Hal ini menambah nikmat permainan cinta kami, dan sekali lagi, tanpa dapat dicegah, orgasme keempat datang menderu memenuhi tubuh Eksanti yang memang sudah sangat sensitif ini. Sedikit saja gerakanku mampu menimbulkan kobaran birahi yang membahana. Sedikit saja aku memaju-mundurkan kelaki-lakianku, Eksanti sudah menjerit-jerit kecil merasakan kenikmatan yang berlipat ganda. Pada saat Eksanti mencapai klimaks, aku menggigit seiris tomat di puting Eksanti, dan secara tak sengaja menggigit pula puting itu. Eksanti menjerit karena ada rasa perih, tetapi jeritannya segera berubah menjadi erangan karena aku pun segera menyadari "kecelakaan" itu, dan mengubah gigitannya menjadi kuluman. Rasa perih segera bercampur dengan geli, cepat sekali membuat Eksanti menggeliat kuat dan menyerah pada gelombang-gelombang besar puncak birahinya.

Ketika semua sayuran telah habis, Aku tidak lagi memiliki kegiatan lain selain menggenjot menghujam-hujamkan kejantananku. Setelah sekian lama menahan diri dan memberikan empat orgasme kepada Eksanti, kini aku membiarkan klimaksku sendiri datang menyerbu. Aku mempercepat hujaman-hujaman kejantananku, tidak mempedulikan Eksanti yang sebenarnya belum lagi selesai dengan klimaks terakhirnya. Eksanti masih menggelepar-gelepar merasakan akhir dari klimaks itu, tetapi aku telah pula memberikannya kenikmatan baru. Tubuh Eksanti berguncang, menggeliat, meluncur hampir terjatuh dari meja yang kini penuh keringat bercampur air bekas sayuran, saos tomat, dan sebagainya. Aku cepat-cepat menahan tubuh itu, mencengkram bahunya dengan kuat. Eksanti cepat-cepat pula berpegangan pada pinggir meja.

Dengan erangan yang menyerupai banteng terluka, Aku akhirnya melepaskan salvo-salvo birahiku, menumpahkan banyak sekali lahar putih pekat yang muncrat sangat kuat dari ujung kejantananku. Eksanti entah sedang berada di langit yang keberapa, tidak bisa merasakan semprotan-semprotan hangat di dalam kewanitaannya, karena ia sendiri sedang meregang menikmati klimaks kelimanya yang datang menyambung akhir klimaks sebelumnya. Kedua kakinya erat menjepit pinggangku. Matanya terpejam. Mulutnya menganga dengan suara-suara tertahan seperti orang tercekik. Payudaranya berguncang-guncang hebat.

Sebuah desahan yang panjang akhirnya keluar dari mulut Eksanti, setelah segalanya mereda. Aku terkulai menindih tubuh Eksanti. Meja pantry berantakan. Botol saos tomat akhirnya terguling tanpa dapat dicegah. Untung botol itu kuat sehingga tidak jatuh berkeping. Tetapi isinya bermuncratan ke mana-mana, bercampur potongan-potongan sayur, tebaran nasi putih yang belum sempat di masak, lelehan mentega cair dan beberapa buah tomat yang jatuh bergelindingan. Kacau sekali!

"Oocch, Mas.. kamu harus membantu Santi membersihkan pantry!" begitu kata Eksanti setelah kami mampu berbicara lagi.
Berdua kami tertawa terbahak-bahak mengenang kegilaan-keedanan yang baru saja kami lalui.

Makan malam kali ini terpaksa ditunda. Setelah membersihkan pantry, Eksanti dan aku kehilangan nafsu makan. Sebaliknya, setengah jam kemudian kami telah terlihat bergumul di kamar tidur. Percumbuan dilanjutkan, tetapi dengan tempo yang jauh lebih lambat, dan dalam rentang waktu yang jauh lebih lama.

Kami tak perlu khawatir, karena di seberang tempat kost Eksanti ada restoran nasi goreng yang buka 24 jam.

T A M A T

Rebirth - 1

Lari bukan selalu berarti kalah. Menjauhkan diri dari problem yang menghimpit dada, ke sebuah telaga sejuk yang jauh dari hingar bingar kota, seringkali berbuah lebih dari yang kita butuhkan. Di situ Ray ditemani Fitri, gadis yang semula hanya sebagai perempuan bayaran, tapi nyatanya mampu menjadi peri yang kata-katanya ditaburi petuah-petuah bijak. Seperti pesan Fitri di akhir cerita, "Ingat. Terkadang hidup ini terasa berat. Tapi kalau kamu nyantai saja, semua akan berakhir seperti angin yang berlalu."

13 Juli 2001,
all my troubles seem so far away..
one done, other waits..

"Hai, Sayang," gadis itu memelukku mesra.
"Hai, welcome back," dan (muah.. muah..) sebuah kecupan mendarat di keningnya.
"Missed you, Ray," bisiknya mesra, tanpa perdulikan sekeliling.
"Ssshh..," kuangkat koper ungu tuanya dan bergegas meninggalkan lokasi kedatangan, sebelum lebih banyak mata memandangi kami.

"Bagaimana kabar di U-P..?" tanyaku di perjalanan.
Moogie tersenyum dan mengeluarkan sebuah kantung kain yang berbentuk persegi.
"Semuanya dalam empat mini-cassette dan dua belas foto telanjang."
"Telanjang?"
Moogie tertawa dan menggelendot manja di bahuku.
"Kamu lagi hot, ya?" bisiknya sambil tersenyum dan menggigit lembut dadaku.
"Kamu ngga sebaiknya pulang dulu?"
"Nanti saja, masih jam delapan."
Sambil terkekeh kubelokkan mobilku menuju rumah.

Setengah jam setelah sampai di rumah, "Shit," umpatku membasuh peluh yang membasahi keningku.
"Ada apa, Ray?" Moogie mengangkat tubuhnya dan menatapku dalam.
"I.. just.. can't.."
"Ha? Yang jelas dong?"
"Kita ngga bisa begini terus."
Moogie menarik wajahnya ke belakang, "Maksud kamu apa?"
"Aku ngga tega ngerusak kamu."
"Ngerusak?"
Aku tahu gadis itu pasti membelalakkan matanya. Mau gimana lagi, Non?
"Yap. I'm sorry."
"Aku ngga ngerti, Ray."
"Aku mau sudahan.."
"Apa?"

Plak-plak-plak, dan boohoo-hiks-hiks..
"Kamu jahat, Ray. Kamu jahat."
Kutatap gadis telanjang yang masih tersedu-sedu itu.
"Aku sayang kamu."
"Tapi kan bukan begitu caranya. Kalau kamu sayang.."
"Aku nafsuan."
"Ya kan bisa dicari pemecahannya."
"Aku ngga bisa.."
"Ray.. kamu.. aku.. kita kan sudah.."
"Ssshh," kudekatkan tubuhku dan memeluknya, tapi gadis itu sebaliknya menghindar sambil tetap meringkuk di sudut tempat tidur.
"Makanya itu, Moogie. Sebelum semuanya 'kebablasan'."
"Kebablasan..?" gadis itu membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya dan melayangkan lagi sebuah tamparan ke pipiku. Kali ini lumayan keras.
"Ya kan? Perasaan.. kita belum deh..," ucapku polos.

Yang kulakukan toh hanya menusuk-nusuk lembut di tengah kegelapan kamar. Gelap? Iya dong. Aku punya 'trend' dalam hal begituan.
"Tapi, Ray.."
"Belum kan?" tegasku seraya menatap matanya.
"Aku sayang kamu, Ray," isaknya lalu menjatuhkan kepalanya di dadaku.
"Aku juga. Tapi sayang aku masih belum sembuh, oleh karena itu aku tak ingin merusak kamu, apalagi menyakiti kamu," desahku di telinganya.
"Kita ngga usah ngelakuin lagi. Kan bisa?"
"Ngga. Bukan di kamunya, di akunya."

Lalu mulutku mulai bercerita ngawur, bagaimana aku dilahirkan sebagai seorang pemuda dengan nafsu membara. Yang selama ini selalu berjuang memerangi nafsu dan segala kebejatan itu. Berkeliaran dengan derita di jiwa karena selalu 'harus terpaksa' meninggalkan gadis-gadis yang ia kasihi. Sesuatu yang sama sekali 'tidak' ia inginkan. Dan semuanya hanya 'demi' kebaikan gadis-gadis itu.

"Aku bisa menolongmu, Ray," desis Moogie setelah 'the end'.
"Tentu saja, dengan menjadi sahabat terbaikku."
"Lebih dari itu?"
"Saudara laki-laki kamu. Yang penting selalu di dekatku."
Jadi istilah kasarnya 'stock-ing'. Kapan saja, di mana saja.
"Lebih?"
"Lebih lagi aku akan merenggut milikmu. Kamu siap?"
Milikmu. Ah?
Moogie tertawa dan menyusupkan kepalanya lebih dalam.
"Moogie," desahku seraya membelai rambutnya.
"Hmm?"
"Jangan begini ah, nanti aku terangsang lagi."

Gadis itu tertawa lalu mengangkat tubuhnya. Air mata masih mengalir di pipinya.
"Wooaayy!! Apaan nih!!?" seruku saat Moogie mencium bibirku bertubi-tubi dan menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur.
"Kamu baik, Ray. Mungkin itu yang bikin aku tergila-gila padamu."
Tadi jahat, sekarang baik. Besok? Jahanam, mungkin. Atau malaikat?
"Dan semua juga," tawaku menimpali.
"Ngga perduli, selama aku masih hidup," desisnya lalu mengecup pundakku. Saat itulah pertama kali aku merasakan sesuatu yang salah di hidupku.

Akhirnya kuputuskan juga hari Minggu, 15 Juli 2001, untuk melarikan diri. Melarikan diri? Memang terkadang seseorang perlu untuk lari. Lari bukan selalu berarti kalah. Dan itu bukan pembelaan diri. Itu kenyataan yang terjadi sesekali.

Setelah menelepon Pak Herman di rumahnya untuk meminta cuti tiga hari, segera kupak semua baju santaiku dan keluar dari kota Surabaya yang mulai meneraka. Kuarahkan mobilku menuju selatan. Ygy. Pulang ke kota-'nya'.

Mdn, pukul 11.30 siang.

"Berapa, Mas?" tanya petugas pompa bensin berkulit gelap itu padaku.
"Mas?" tanyanya sekali lagi dengan nada lebih keras, mengejutkanku.
"Ah, tiga puluh ribu saja," ucapku terbetot dari lamunan.
Kulihat lelaki tiga puluhan itu tersenyum-senyum seraya menekan alat pemompa bensin di tangannya.

Lelaki itu memiliki kerutan-kerutan kehidupan yang berat di sisi wajahnya. Mungkin isterinya selalu menuntut sepeda motor untuk berbelanja di pasar. Mungkin anaknya ada sepuluh, dan tiga di antaranya merengek mengerikan setiap malam berebut tetek ibunya karena harga susu yang masih tinggi. Ah, pikirku dalam hati, mengapa aku jadi se-melankolik ini. Bukankah meninggalkan seorang gadis sudah biasa kulakukan dalam sepanjang hidupku? Mungkin kali ini berbeda.

Moogie tak pernah salah apapun padaku. Dia gadis baik-baik. Gadis yang sudah kutiduri tanpa sepengetahuannya. Lagi-lagi. Dan itu sedikit menggusarkan, mengingat betapa selama ini korban-korbanku selalu tidak kuacuhkan. Mungkin sebersit rasa cinta sudah mulai menguncup di hatiku. Gombal. Mana mungkin pria seperti aku jatuh cinta. Rasa itu sudah hilang sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak Enni meninggalkanku sendiri di sudut kegelapan kamar.

"Mas. Mas, sudah, Mas." Petugas pompa bensin itu memanggil namaku sampai tiga kali.
"Oh, maaf," senyumku kikuk seraya menyerahkan lembar lima puluh ribuan ke tangannya.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, lalu menuju meja kecil tempatnya bersantai kala pompa bensin sepi. Kuangkat kepalaku dan menyipitkan mata menatap ke arah barat. Di sana semua tersimpan baik. Kenangan-kenangan indah akan cintaku. Dan kali ini aku kembali melarikan diri padanya. Pada gadis yang sudah menancapkan kukunya dalam-dalam di hatiku.

Seperti biasa. Enni pasti akan mengomel panjang lebar, "Kamu ke sini kalau ada perlu saja. Kamu memang edan."
Yah, 'edan' memang kata yang paling tepat untukku. Dan seperti biasa pula akan kukecup bibirnya seraya mengusapkan kata-kata yang selalu berhasil menaklukkannya, "Aku kan mencintai kamu." Kata-kata yang hanya bisa kuucapkan pada satu gadis. Cinta. Lalu kutolehkan kepalaku ke arah utara, beberapa saat sebelum klakson mobil di belakang memaksaku untuk masuk ke dalam mobil.

Mgt, satu seperempat jam kemudian.

Dalam hati aku sedikit meragukan apa yang kulakukan saat ini. Sungguh berbeda dengan kebiasaanku untuk membuang sedih dengan gadis lain. Kupandangi pepohonan yang berlari di tepian jalan menanjak. Entah mengapa di pompa bensin tadi kuputuskan untuk menyendiri di puncak gunung. Nafsuku untuk menemui Enni hilang seketika. Yang ada hanya rasa pedih yang masih menusuk hatiku. Moogie, sedang apa dia sekarang? Apakah gadis mungil itu menagis tersedu-sedu kala mendengar mesin penjawab telepon di rumah? Apakah ia merindukan pelukanku? Saat-saat indah mandi bersama? Dan bahkan sekarang adikku pun tidak mau diajak kompromi untuk tidak 'berdiri'.

"Nih, Pak," senyumku seraya menyerahkan selembar uang kepada Bapak penjaga portal masuk.
Bapak itu menyeringai menunjukkan giginya yang menguning, "Sendirian saja, Mas?"
Kuanggukkan kepalaku. Memang, sejauh yang kudengar jarang orang yang mampir ke telaga ini sendirian. Biasanya bersama keluarga atau simpanan mereka.
"Lagi pingin nyepi, Pak," gurauku lalu tertawa.
Bapak itu ikut tertawa dan mengangkat portal yang melintang di jalan. Kutekan pedal gas dan melaju memasuki kawasan penduduk.

Telaga Srg, kemudian..

Kunyalakan Marlboro di bibirku dan menghisap racun itu hingga dadaku terasa sesak.
"Mas, naik boat?" beberapa orang bapak sudah berdiri di belakangku.
Kugelengkan kepala dan balik bertanya, "Paling enak tidur di mana, Pak?"
Bapak-bapak itu mengubah pandangan mata yang semula penuh harapan menjadi kelam, "Banyak, Mas. Di mana-mana."
Oh, ya sudah. Pikirku dan tersenyum.

Begitulah orang sekarang. Ada duit senyum dipasang, tidak ada duit 'dicuekin'. Kualihkan pandanganku ke arah pulau di tengah telaga. Orang setempat menyebutnya pulau Kelinci. Mungkin di sana dahulunya merupakan sarang beribu-ribu kelinci. Dan sekarang tinggal namanya saja. Perut memang menjadi sarang nafsu paling utama.

Lalu ilusi melayang di kepalaku. Gadis-gadis kelinci yang telanjang berlarian di tepian pulau. Hingga datang seorag penjual sate kelinci bernama Ray yang kehabisan bahan mentah di pasar. Berburu, menembak dan melukai. Menyayat dan menyulap mereka menjadi alat pengganjal perut seharga delapan ratus per tusuk. Padahal dalam kondisi utuh dapat mencapai dua sampai empat puluh ribu. Perusak? Yah, terkadang nafsu dapat menjadi momok jiwa.

Kubuka pintu mobil dan melangkah masuk. Mendadak Marlboro ini menjadi sangat pahit. Kubuang puntung rokok melalui jendela dan menuju ke salah satu hotel yang dulu (waktu aku masih kecil) sering disinggahi keluargaku. Beberapa ekor kuda meringkik saat derum knalpot menyapu telinga mereka.

"Dua malam, Mas," ucapku seraya mengeluarkan tanda pengenal dari dompet.
Kurasakan keragu-raguan dari lelaki resepsionis itu. Dengan tersenyum kutatap matanya dan berkata, "Saya bayar di muka."
Raut wajah lelaki itu langsung berubah dan senyum mengembang di bibirnya.
"Kamar dua, Mas," ucapnya tanpa menghilangkan senyum.
Menjijikkan. Kuseret langkahku menuju bungalow di samping kiri kantor hotel.

Bungalow ini mengingatkanku pada masa kecilku. Kamarnya ada tiga (sejenak aku bingung juga, siapa yang akan tidur di situ) dan memiliki sebuah dapur dan sebuah kamar mandi di atas garasi. Tempat yang menyenangkan. Dulu ayah dan aku selalu menghabiskan waktu bermain tenis di lapangan yang terdapat di belakang hotel.

Kuletakkan tas ranselku dan membuka kamar tengah yang paling besar. Aroma daging dibakar mengejutkanku. Kulangkahkan kakiku keluar kamar dan melihat seorang penjual sate kelinci telah mengibas-ngibaskan kipas bututnya di atas tusukan daging mentah. Senyumku mengembang. Geli. Penjual-penjual di sini menerapkan mode pemaksaan untuk memperoleh konsumen. Tradisi yang tidak pernah berubah sejak aku terakhir ke sini sepuluh tahun yang lalu.

"Sendiri, Mas?" tanya penjual sate itu dengan logat jawa yang 'medok'.
Kuanggukkan kepalaku sedikit kesal. Sate mahal ini ternyata kecil sekali setelah matang. Mungkin kelincinya kena polio atau rabies.
"Nggak biasanya ada yang sendirian ke sini, Mas."
Cerewet, umpatku dalam hati. Hawa dingin mulai merasuki tulangku.
"Kalo mau saya carikan teman, Mas? Gimana?"
Eh? Teman? Hatiku tertawa saat mendengar celotehan bapak itu. Tapi rasa ingin tahu mungkin membuatku sedikit kelepasan.

Dengan tersenyum kutelan sisa daging dan nasi di mulutku, "Berapaan, Pak?"
"Ya sekitar lima sampai sepuluh, Mas."
Lima ribu? Apa itu? Vagina yang baru terjun ke jurang?
"Ribu?" tanyaku membelalakkan mata.
Bapak tukang sate itu terkekeh, "Ya nggak toh, Mas. Puluhan ribu."
"Oh," ucapku pendek lalu menggigit tusuk sate ke delapan.
"Gimana, Mas?" desak si tukang sate. Ngotot.
"Terserah deh," jawabku sambil lalu.

Mungkin enak juga menghabiskan waktu semalam bersama wanita. Entah wanita yang segila apapun. Aku sedikit beku akhir-akhir ini dalam menilai wanita. Sampai-sampai pedoman 'tidak kencan dengan pelacur' kulupakan.

Bapak itu berlalu setelah menerima uang sate. Dalam hati aku sudah melupakan tentang tawarannya tadi. Lagipula dia tidak bertanya lebih lanjut. Di luar sudah mulai gelap. Adzan maghrib sudah berkumandang. Kuhela nafasku dan mendekap ujung jaket kulitku erat-erat hingga ketiakku terasa panas. Jaket ini merupakan temanku yang paling setia selama tujuh tahun terakhir. Tak pernah megeluh, menuntut, tapi bisa menghangatkanku setiap saat.

Kududukkan tubuhku di atas kursi teras dan mulai membuka halaman ke 386 dari karya sastra saduran Lo Guanzhong. Romance of the Three Kingdoms. Aku menyukai setiap penuturan dari cerita ini. Alur yang sedikit kacau dan puitis tapi membuai. Tokoh-tokoh yang memukau dengan kegagahan mereka. Intrik jenius dan polemik loyalitas. Perang dan jeritan anak manusia tertebas pedang. Tak berapa lama kemudian aku sudah masuk ke dalam kancah peperangan.

Bersambung . . . .

Rebirth - 2

"I finally found you, Kuei!" pria tinggi besar berjanggut panjang di atas kuda merah itu membentak kasar.
Matanya setajam burung elang. Golok besar terangkat di atas kepalanya. Kukembangkan senyum puas di bibirku.
"Yuen-Chang, you'd never give it up, hai-ma?" logat selatan keluar dari bibirku dengan fasihnya.
Sebagai satu-satunya pelindung Yung-An, sudah kewajibanku mengusir pengacau. Terutama bangsat yang sudah mengkhianati kebaikan junjunganku, Lord Liu Zhang. Bahkan di usiaku yang sudah nyaris kepala enam ini kegagahan masih kujunjung tinggi.

Pria berjanggut indah itu tertawa lalu merangsek kudanya maju. Tempik sorak soprai terdengar dari kedua kubu. Kutendang rusuk kudaku dan memutar tombak di atas kepalaku.
"Yieeaa..!" Trakk!! Cringg!!
Debu beterbangan saat kedua chi kami bertemu.

*********

"Permisi." sebuah suara lembut megejutkanku dan menarikku pulang dari impian yang menakjubkan.
Kukendurkan otot-ototku dan tersenyum memandang gadis berpakaian kaos putih di depan teras. Gadis itu menundukkan kepalanya malu-malu. Beberapa saat kemudian bapak penjual sate tadi muncul dari balik tembok pembatas teras. Mulutnya menyeringai puas.
Dengan tertawa kutegur bapak itu, "Saya kira ngga jadi, Pak."
Bapak itu terkekeh dan mendorong tubuh si gadis masuk ke ruang tamu. Mungkin hal ini sudah biasa baginya.

Beberapa saat kemudian bapak itu keluar dan membuka telapak tangannya, "Mas..?"
Dengan tertawa kurogoh dompetku dan mengeluarkan selembar dua puluh ribuan, "Nih, Pak. Terima kasih, ya."
Bapak itu mengambil lembaran uang dan menciumnya seolah baru memperoleh durian runtuh. Sambil tersenyum-senyum kupandangi bapak itu sampai menghilang di kegelapan jalan. Sekejap kemudian aku sudah lupa pada gadis di ruang tamu. Memang pada dasarnya aku hanya iseng.

*********

"Give up!!" sentakku saat kedua gagang senjata kami bertemu.
Pria gagah itu tersenyum sinis, "Lo-Huang, why don't you realize the weakness of your Lord?"
"Shut your honey-mouth up, Kuei!" sentakku dan memutar gagang tombak.
Panglima Guan menarik mundur tubuhnya dan membalikkan goloknya, menggempur tanpa mengucapkan sepatah katapun. Perlahan tekanan chi-nya mulai menusuk tulang-tulang tuaku. Seandainya aku masih muda. Ratusan jurus keluar tanpa sadar.

*********

Tanpa terasa setengah jam berlalu dengan kekalahanku. Gong pemimpin pasukan memaksaku kembali ke kubu. Dan menutup kisah idolaku. Kupandangi telaga yang mengelam di kejauhan dan mulai merasakan dingin sekali lagi mengingatkanku akan bahaya pneumonia. Kuangkat tubuhku dan bergegas masuk ke dalam ruang tamu. Baru saat itu aku sadar aku tak sendiri.

Gadis itu tertidur di atas sofa. Pipinya terlihar kurus. Kaos yag dikenakannya tidak terlalu lusuh. Mungkin pembantu rumah tangga, pikirku geli. Kutekuk lututku dan memandangi wajahnya. Gadis itu sebenarnya manis. Manis untuk hitungan orang desa, tentunya. Tubuhnya terlihat padat. Lengannya berisi, dan buah dadanya tampak kencang terjepit lengan yang menjadi bantalnya.Bibir gadis itu sesekali bergetar. Ah, ia kedinginan, pikirku lalu melepaskan jaket dan menutupi tubuh gadis itu. Kasihan sekali.

Kutaksir umurnya baru sekitar enam belas tahun. Pinggulnya masih ramping dan pangkal lengannya masih kecil. Baru satu atau dua kali berhubungan seksual. Kugaruk-garuk kepalaku menyadari betapa buruknya pengalaman yang mendasari pemikiranku. Gadis itu bergerak dan menggapai ujung jaket hingga menutupi lehernya.

"Shh, tidur saja," ucapku lirih lalu beranjak menuju kamar.
Aku sama sekali tidak bergairah. Mungkin terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri. Mungkin juga karena gadis itu hanya sekedar wanita bayaran. Sampai di dalam kamar, kuletakkan tubuhku di atas tempat tidur. Saat itu mendadak seluruh tulangku terasa lemas. Pasti hawa dingin ini penyebabnya. Atau mungkin juga perasaanku yang kacau balau. Kubuka kembali buku di tanganku dan membiarkan impianku terlelap di medan perang.

Menjelang pukul dua pagi.

Aku memiliki sebuah kebiasaan aneh. Mungkin beberapa orang juga mengalaminya. Dalam kesibukanku sebagai seorang kuli tinta, waktu sangat terbatas. Kami dituntut untuk dapat mengorganisir waktu-waktu luang kami supaya tidak ketinggalan berita. Begitu juga dengan jam tidurku. Aku terbiasa untuk bangun setelah tidurku mencapai lima jam. Entah dalam kodisi dan di lokasi manapun. Seolah-olah di kepalaku ada jam weker otomatis yang selalu membangunkanku saat belnya berdering. Dan itu pula yang terjadi saat itu.

Aku membuka mata dan dalam sekejap melipat tubuhku. Hawa terasa dingin sekali. Dan aku begitu bodoh untuk terlelap tanpa selimut ataupun jaket. Beberapa saat kemudian, kesadaran membuat leherku kering. Kuangkat tubuhku dan membuka pintu kamar. Sedikit tersentak melihat gadis itu masih di atas sofa.

Tubuh gadis itu meringkuk. Jelas saja. Gadis itu hanya mengenakan span tipis berwarna hitam. Dari jauh dapat kulihat pahanya yang menyatu. Bukannya terangsang, tapi rasa iba mulai menyusupiku. Kubuka pintu kamar sebelah, lalu menghampiri gadis yang meringkuk di sofa. Erangan lirih keluar dari bibirnya saat kuangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam kamar. Gadis itu terasa ringan di dekapanku.

Kubaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Gadis itu mengeluh sekejap tapi masih pulas. Sepertinya dia sangat capai.
Habis ngapain, Non? 'Mbajak sawah?
Sambil tertawa kutinggalkan kamar itu dan menuju ke dapur untuk membuat kopi.

Kunyalakan kompor gas dan mulai merogoh-rogoh plastik perbekalan yang kubeli sebelum masuk hotel. Kukeluarkan sebungkus Nescafe 2 in 1 dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Sambil menunggu air mendidih, kuruncingkan bibirku dan menyiulkan Sweet Child o' Mine kesukaanku.Mendadak pintu kamar terbuka.

"Mas, kamar mandinya di mana?" gadis itu megusap matanya lalu menatapku.
Sambil tersenyum kutunjuk ke arah kiriku, "Di sana tuh."
Gadis itu mengangguk dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Akhirnya kubalikkan lagi sebuah gelas dan merogoh sachet baru. Tak berapa lama kemudian gadis itu keluar dari kamar mandi. Gadis itu mengenakan jaket yang kuselimutkan di tubuhnya tadi. Matanya menatapku dengan pandangan yang susah diartikan.

"Ngapain bengong..?" senyumku, "Sini nih. Minum kopi."
Gadis itu terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah ke ruang tamu.
"Duduk," ucapku sedikit memerintah, lalu menyodorkan cangkir kopi di hadapannya. Gadis itu mendudukkan tubuhnya dengan rikuh.
"Ayo diminum, nanti dingin," tawaku dan menyeduh kopiku sendiri.
Gadis itu masih tidak bereaksi, hanya menutupkan jaketku semakin erat.

Beberapa detik kemudian gadis itu meraih jaketku dan melepaskannya.
"Maaf, Mas," ucapnya lirih. Membuatku geli.
"Lha kalau dingin, ya dipakai saja dulu."
Tapi gadis itu sudah meletakkan jakatku di atas meja. Dengan tertawa kuangkat tubuhku dan meraih jaket di atas meja. Gadis itu sedikit menjauh saat kututupkan jaketku di atas tubuhnya."Ngga usah, Mas." Tapi toh dia tidak menolaknya.
"Begitu dong. Biar saya saja yang kedinginan," gurauku.
Akhirnya gadis itu tersenyum.

"Ayo, diminum kopinya," ucapku kemudian.
Gadis itu mengangkat cangkir kopi dengan kedua tangannya yang mungil dan mulai menyeduh isinya. Beberapa saat kemudian rona merah mulai menjalar di wajahnya.
"Enak?" tanyaku sambil lalu. Gadis itu megangguk.
"Padahal airnya mentah loh," candaku.
Gadis itu membelalakkan matanya dan mengerutkan wajahnya. Tanpa sadar tawa keluar dari mulutku.

"Oke. Nama kamu siapa?" tanyaku setelah lelah tertawa.
"Fitria, Mas," jawab gadis itu malu-malu.
"Jagan panggil aku Mas. Aku Ray," senyumku seraya mengulurkan tangan.
Gadis itu terlihat heran tapi membalas jabatan tanganku, "Fitria."
Nama yang bagus.

"Jadi kamu dari mana?"
Gadis itu menatapku masih dengan pandangan aneh.
"Tbn," ucapnya menyebutkan nama salah satu kota di pesisir utara Jawa Timur.
"Oh," jawabku pendek, "Sudah lama di sini?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya, "Saya dari bawah kok, Mas."
Bawah yang dimaksudkannya adalah dari kota di bawah telaga.
"Mas lagi," senyumku geli, "Namaku Ray."
"Iya, Mas Ray."
"Hahahaha."
Fitria ikut tertawa.

Sekejap kemudian suasana kikuk sudah jauh berkurang. Yang ada hanya keakraban dan rasa dingin yang semakin menusuk. Sejauh aku tidak menyinggung kehidupannya, Fitria masih saja tertawa dan tersenyum. Ini menyenangkan. Tidak seks melulu. Yang kami bicarakan malah seputar dinginnya udara, nikmatnya kopi hangat, dan urusan belanja sayuran di pasar.

Dari ceritanya, kuketahui bahwa Fitria memang masih berusia enam belas tahun. Tujuh belas tahun ini. Kedua orang tuanya menitipkannya di rumah salah seorang saudara mereka di Mgt, apa lagi kalau bukan masalah kekurangan dana. Paman Fitria adalah seorang pengusaha bengkel sepeda motor. Di sana Fitria masih sempat mengenyam sekolah sampai kelas tiga SMP, sebelum akhirnya disuruh bekerja menjadi pembantu rumah tangga seorang cukong rumah walet, begitu Fitria menyebut usaha majikannya.

Sampai di situ mendadak raut wajah Fitria berubah drastis. Dari pengalaman interview yang sudah-sudah, ciri-ciri seperti ini adalah awal mula dari kisah yang menyakitkan. Tentu saja aku sudah 'terlalu' hapal dengan semua gejala ini.
"Ngga usah cerita kalau tidak mau," ucapku menenangkannya.
Fitria mengangguk seraya tersenyum. Sejauh ini kami sama sekali tidak berbincang mengenai transaksi seksual. Sementara aku sendiri tidak bernafsu, kurasa Fitria juga sudah larut dalam keakraban yang kuciptakan baginya.

Kulirik jam di dinding yag sudah menunjukkan pukul setengah empat.
"Aku mau lihat kabut," ucapku padanya, "Temani aku, yuk?"
Fitria mengangguk. Kulangkahkan kakiku menuju kamar dan menarik keluar sebuah sweater dari dalam tas. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Fitria mengintip dari baik tirai jendela.
"Lihat apa?" tanyaku ingin tahu dan mendekatinya.
"Pak Karyo. Mungkin masih di luar," desis gadis itu membuatku membayangkan wujud si tukang sate kelinci yang kedinginan di luar.
Ah, rupanya gadis ini tidak selarut yang kukira semula.

"Kenapa? Dia nunggu jatah?" tanyaku memastikan dugaan.
Fitria mengangguk, "Biasanya memang begitu, Ray."
"Padahal aku tidak kepingin, loh," senyumku. Fitria menolehkan kepalanya.
"Tenang," ucapku cepat, "Kamu akan dapat duitnya kok."
"Kok bisa?" gadis itu menaikkan alisnya.
"Karena kamu sudah menemani aku semalaman."
Fitria tertawa. Ternyata gadis itu punya lesung pipit yang bagus sekali.
"Kamu baik ya, Ray."
Yah, kalimat yang membosankan.

"Lalu jadi keluar?" tanyaku kemudian.
Gadis itu meletakkan telunjuknya di bibir beberapa saat. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Ayo."

Ternyata Pak Karyo, tukang sate tadi, tidak ada di luar. Yang ada hanya satpam hotel yang mendengkur di pos, serta dua orang penghuni hotel lain yang duduk di teras. Hawa terasa dingin. Kulihat kabut menutupi telaga dan sisi-sisi jalan.
"Ayo, nanti kedinginan," ucapku seraya menarik lengan Fitria.
Sesuatu semacam ini keluar dariku secara spontan, tapi toh dapat membuat jantung para gadis berdebar-debar.
"Pelan-pelan," Fitria mengeluh di belakangku.
Kulepaskan genggamanku dan membalikkan tubuh tertawa, "Biar ngga dingin."
Fitria tersenyum dan mulai mengiringi langkahku.

Hamparan tirai kabut mempesonaku. Kekelaman tampak pekat di tengah telaga. Ilusi-ilusi tentang makhluk halus seolah tergambar jelas di depan mata.
"Ada hantu di sini?" tanyaku sambil lalu.
Fitria menggelengkan kepalanya, "Itu sih cerita anak-anak. Sebenarnya tidak ada satupun yang namanya hantu di daerah ini."
"Oh, ya?" senyumku.
Gadis ini ternyata lebih terpelajar dari yang kuduga. Mungkin karena kehidupan sudah menempanya sedemikian rupa.

"Kalau jin atau tuyul kukira ada," sahutku kemudian.
"Kok tahu?" Fitria menoleh ke arahku tanpa menghentikan langkahnya.
"Nih, di sebelah kamu," ucapku lalu menggeram.
Gadis itu tertawa seraya menutup mulutnya. Khas gadis malu-malu kucing.
"Aku cuma tahu satu hantu," mendadak gadis itu menundukkan kepalanya.
Ah. Satu lagi bahan cerita yang mengalir dari rasa akrab.

"Cukongku," desisnya lirih.
Ternyata memang sebuah kisah klise yang sering ditemui di hari-hari para pembantu rumah tangga bernasib malang.
"Sudah, ngga usah diceritakan," bisikku lalu merangkul pundaknya.
Fitria tidak menolak ataupun menghindar. Kurasakan pundak gadis itu sedikit bergetar.
"Hey lihat!" seruku mendadak.
"Apa?" gadis itu mengangkat kepalanya.
"Ngga ada apa-apa," tawaku, "Aku hanya iseng."

Dengan gusar gadis itu melepaskan rangkulanku dan berlari kecil ke arah depan. Ah, gadis-gadis. Selalu gembira dan jatuh cinta pada orang yang salah. Kulangkahkan kakiku lebih cepat mengejarnya. Beberapa langkah kemudian kusergap gadis itu dari belakang dan mengangkat tubuhnya. Lenganku menyentuh buah dadanya yang kenyal dari dalam jaket. Gadis itu menggelinjang, tapi tak berusaha merota melepaskan diri.

"Waa!!" Fitria berteriak kecil saat kugendong tubuhnya sepanjang jalan.
Yang berkelebat di ingatanku hanyalah kenangan-kenangan bersama beberapa gadisku yang sudah lalu. Semuanya terasa begitu indah dan membuat rindu. Kehangatan yang sama yang kuberikan pada setiap gadis. Sentuhan yang hangat dan aroma tubuh mereka sebagai reaksi kehangatan yang kuberikan. Sekejap aku merasa lebih kotor dari siapapun di dunia ini.

"Kenapa, Ray?" gadis itu bertanya setelah kuturunkan tubuhnya.
"Ngga apa-apa. Aku hanya merasa sedikit bersalah."
"Oh ya? Kamu mau cerita?" Fitria melingkarkan lengannya yang terbalut jaket di lenganku.
Kukembangkan senyumku, "Kamu yakin mau dengar?"
"Kalau ngga mau ya tidak usah. Kamu juga tadi bilang begitu."
"Hahaha," tawaku meledak memecahkan keheningan subuh.

Kutatap kabut yang bertambah pekat saat kami melintasi bukit pinggir telaga yang dipenuhi pepohonan liar.
"Aku seorang pemerkosa," bisikku lirih.
Fitria menarik lengannya dan menghentikan langkahnya. "Apa?"
Aku tahu gadis ini pasti trauma dengan sosok-sosok maut sepertiku. Tertawa kubalikkan tubuhku, "Tapi bukan seperti yang kamu bayangkan."
Otot-otot wajahnya mengendur. Fitria melangkahkan kakinya lagi, "Lalu?"
"Aku meniduri gadis-gadis perawan. Dan membutakan mata mereka dalam arti kiasan. Kamu tahu bukan? Membutakan dalam arti tidak membiarkan mereka menyadari bahwa mereka telah kehilangan milik mereka yang berharga itu."

Kurasakan langkah Fitria bergeser sedikit menjauhiku. Terserahlah, pikirku.
"Berbagai macam cara telah kupraktekkan untuk memuaskan keinginanku. Tapi pada akhirnya ya begini. Rasa bersalah yang tak kunjung reda."
"Ya sudah," mendadak gadis itu membuka mulutnya, "Berhenti saja."
Tawa kecil keluar dari mulutku, "Itulah. Terkadang susah mengalahkan diri sendiri. Kadang aku ingin berhenti, tapi justeru hawa nafsu dalam diriku seolah berusaha membuatku kembali melakukan kesalahan-kesalahan itu."
"Memangnya sudah berapa banyak sih?"
Kuhela nafasku dalam-dalam, "Entahlah. Mungkin sekitar lima belas."
"Waahh," Fitria menutup mulutnya lalu terkekeh geli, "Banyak juga."
Akhirnya aku terbawa oleh tawanya, "Heheheh, lumayan."

"Kamu tahu ngga, Ray," gadis itu berkata kemudian.
"Apa?" tanyaku ingin tahu.
Fitria menarik kedua tangannya ke belakang punggung, "Aku juga punya penyesalan yang belum terobati. Kurasa kamu juga tahu maksudku."
Kuanggukkan kepalaku dan menggumam mengiyakan.
"Terkadang gadis-gadis sepertiku juga menikmati dosa-dosa kami."
"Oh ya?" tanyaku heran, sebelum kemudian mengerti setelah membandingkannya dengan diriku sendiri.
"Coba deh, kamu duduk di situ," ucap Fitria lalu menunjuk ke sebuah benda mirip rudal kecil yang banyak berdiri di sepanjang pinggiran jalan.

Dengan rasa ingin tahu kududukkan tubuhku. Fitria menghampiri dan membungkukkan kedua lututnya berjongkok di hadapanku. Sesaat kemudian gadis itu mulai membuka retsleting celanaku.
"Hehehe," tawaku geli, "Jangan ah. Nanti dilihat orang."
Fitria tersenyum dan menggeleng, "Diam saja deh. Lagipula ngga ada orang keluar sejauh ini sebelum jam setengah lima."
Akhirnya kubiarkan saja gadis itu membuka retsleting celanaku dan merogoh kemaluanku. Rasa dingin menyentuh kulitku. Fitria tertawa kecil saat melihat kemaluanku mengerut. Lagipula aku sama sekali tak bernafsu.

Fitria memegang batang kemaluanku dan mulai memasukkannya ke dalam mulutnya. Sekejap aku merasa jijik. Aku tak mengira semua ini akan terjadi. Tapi tak lama kemudian sengatan itu mulai menjalar ke otakku. Kurasakan batang kemaluanku mengeras di mulutnya yang bergerak maju mundur.
"Ahh..," desahku menahan nikmat yang merangkak ke tulang punggungku.
Mendadak Fitria melepaskan kulumannya dan memandangku sambil tersenyum.
"Lihat, kamu juga menikmatinya kan?"
Aku tertawa. "Yah, begitulah," jawabku singkat.
"Aku juga," sahut gadis itu mengembangkan senyumnya.

Sedetik kemudian Fitria kembali memasukkan batang penisku ke dalam mulutnya. Lidah gadis itu bergerak menyapu pembuluh-pembuluh darahku. Kuangkat kepalaku merasakan kenikmatan dan kehangatan mulutnya.
"Sudah, sudah," seruku beberapa menit kemudian.
Gadis itu menarik keluar batang kemaluanku dan tersenyum, "Ngga kuat?"
Sambil tertawa kuketuk kepalanya, "Ngga enak saja."

Kuangkat tubuhku dan membetulkan celanaku.
Fitria tertawa kecil dan ikut berdiri, "Aku hanya menunjukkan bahwa aku menikmatinya juga."
"Pada semua orang?" tanyaku tersenyum-senyum.
"Kecuali cukongku dan beberapa tukang perkosa," Fitria menggeram meyakinkanku akan dugaanku terhadap masa lalunya.
Kulangkahkan kakiku menuju kabut yang mulai menipis. Fitria bergegas mengikuti dari belakang.

Bersambung . . . . .

Rebirth - 3

"Ray."
"Ya?"
"Aku mau tidur dengan kamu," desisnya seraya menggelendot di lenganku.
Dengan tertawa kutarik cuping hidungnya, "Aku sama sekali tidak bergairah."
"Maksudnya kamu tidak suka aku, begitu?"
"Bukan," sahutku cepat, "Masalahnya di aku sendiri. Aku belum bisa."
"Kamu jatuh cinta ya, Ray?"
Pertanyaan itu bagaikan kilat yang menghujam batinku.

"Kok bisa beranggapan seperti itu?"
"Ya," gadis itu berbisik, "Aku juga pernah suatu saat lalu."
"Dan?" tanyaku antusias.
"Dan aku meronta saat orang itu mau menggagahiku."
"Oh?"
Dalam hati aku bertanya-tanya, itukah cinta?
"Tapi dia terus meniduriku dan meruntuhkan cintaku."
Aku teringat pada beberapa sahabat lamaku. Seorang gadis bernasib malang dan seorang bapak yang pathetic. Dunia ini sungguh dipenuhi ironi kehidupan.

"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku selang beberapa saat kemudian.
"Kamu kehilangan gairah hidup sejak meninggalkannya?"
"Hahahaha," tawa meledak dari mulutku. Gadis ini benar.
Kulangkahkan kakiku menelusuri pinggiran telaga. Kubiarkan suasana mendiamkan kami dan menenggelamkan kami dalam pemikiran masing-masing.

"Jadi?" Fitria bertanya sesampainya di depan teras bungalow.
Kulihat beberapa tukang jual sayur mulai hilir mudik menuju pasar tradisional. Kabut sudah benar-benar tipis sekarang, walau matahari belum juga muncul.
"Ayo, masuk," senyumku mengulurkan tangan.
Fitria mengangguk dan meraih uluran tanganku. Beberapa saat kemudian kami sudah sibuk menelanjangi satu dengan lainnya. Udara dingin memaksa kami bergerak cepat dan saling menempelkan ketelanjangan satu dengan lainnya.

Erangan keluar dari mulutku saat sekali lagi Fitria menjongkokkan tubuhnya dan mengulum batang kemaluanku. Gadis itu menggerakkan lehernya lebih liar daripada tadi. Membuatku terengah dan menjambak rambutnya. Beberapa saat kemudian Fitria mengangkat tubuhnya dan menggandengku ke dalam kamar, di mana ia kemudian merebahkan tubuhnya dengan posisi menantang. Sambil tersenyum kurebahkan tubuhku di sampingnya dan mulai menggerayangi dan menghisap puting payudaranya yang kecil tapi padat dan kenyal. Gadis itu mendesah saat kumasukkan jari tengahku ke dalam kemaluannya, lalu menggerakkannya dengan lembut.

Beberapa menit kemudian aku mulai menimbang-nimbang kesadaranku. Yang di sebelahku ini sekarang adalah seorang PSK. Ingat itu! Dan mungkin saja beragam penyakit dibawanya di dalam rahimnya. Agaknya Fitria menyadari keragu-raguanku, dari lamanya foreplayku, mungkin.
Gadis itu mendekatkan kepalanya dan berbisik, "Aku sehat kok."
Dengan wajah merah dan tertawa kuangkat tubuhku dan perlahan mulai memasukkan batang kemaluanku ke liang kemaluannya. Gadis itu mendesah dan menarik pinggulnya terangkat, membiarkan kemaluanku menyesak tanpa kompromi.

Fitria menggerakkan pinggulnya liar serta menancapkan jemarinya di pundak dan dadaku. Goyangannya membuatku terengah-engah menahan nafsu yang selalu ingin menggapai puncaknya. Gadis ini luar biasa sekali, pikirku kagum.

Sejurus kemudian, Fitria menghentakkan tubuhku dan menekan pundakku hingga telentang di atas tempat tidur. Dengan posisiku sedemikian rupa, gadis itu mengangkangi batang kemaluanku dan mendudukinya. Erangan keluar dari mulutku saat gadis itu bergerak maju dan mundur. Gadis itu lalu mengatupkan kedua pahanya, menempelkan telapak kakinya di dadaku, membuat batang kemaluanku serasa dijepit. Rintihan keluar dari tubuhnya yang menegang. Kutarik pundaknya dan setengah memaksa membuat gadis itu tertelungkup.

Kumasuki liang kemaluannya dari belakang. Gadis itu menyentakkan kepalanya sekejap, sebelum tubuhnya melemas dan erangan-erangan keluar dari bibirnya. Kurasakan nafsu sudah nyaris menghancurkan benteng pertahananku. Kubalik tubuh gadis itu dan megangkat kedua betisnya ke pundakku. Kutekan batang kemaluanku melesak dan menggerakkannya lebih cepat. Tubuh gadis itu menggelinjang dan bibir bawahnya tergigit. Geraman tak jelas keluar dari bibirnya, seolah memprotes gerakanku yang sedikit kasar.

Dengan mengeluarkan erangan tertahan kutarik keluar batang kemaluanku dan membiarkan sari-sari kejantananku membasahi perutnya. Nafas gadis itu tersengal, peluh membasahi wajah, leher, dan pangkal pahanya.

Dengan tubuh melemas kujatuhkan tubuhku di sampingnya. Fitria tertawa kecil dan merangkul dadaku. Dalam posisi demikian kurasakan seluruh permasalahanku lenyap dengan sendirinya. Yang tersisa hanyalah rasa capai dan kejang di dengkulku. Ternyata hidup belum berakhir. Ternyata cinta masih dapat kukalahkan.

17 Juli 2001

Pagi itu aku bangun dan mendapati tubuh telanjang Fitria di sebelahku. Gadis itu kembali tadi malam. Sendiri. Ia melarikan diri dari rumah kerjanya, lalu mengajakku bercinta semalam suntuk. Masih teringat jelas kemarin pagi saat ia menolak lembaran seratus ribu yang kusodorkan di tangannya.
"Ngga usah, Ray," kepala gadis itu menggeleng.
"Nanti kamu dimarahi Boss-mu," senyumku memaksa.
Dan akhirnya Pak Karyo datang pukul delapan untuk menjemputnya. Waktu gadis itu pergi, sempat kurasakan kekosongan kembali menghantuiku. Seolah sesuatu yang berarti terenggut lepas begitu saja. Seharian itu kuhabiskan di medan laga memperebutkan kota Cheng Du.

Namun malamnya, ketika Fitria datang menghampiriku, gejolak dan hasrat itu kembali menyeruak seperti seekor monster ganas yang mencabik-cabik kebekuan hatiku. Malam itu kami bercinta dengan luar biasa sekali. Dan pagi ini. Aku harus pergi. Kembali ke peradaban.

"Fitria," bisikku di telinga gadis itu.
Fitria menggeliat dan tersenyum menatapku. Kukecup keningnya, dan gadis itu merangkulku mesra.
"Aku akan pulang siang ini."
"Aku tahu," bisiknya di luar dugaanku. Gadis itu tersenyum.
"Kamu tidak apa-apa?" ucapku seraya membalas senyumnya.
"Asal kamu mau memberikan sekali saja kecupan di bibirku."
Dengan tertawa kukecup bibirnya.

Sejak dulu aku selalu merasa jijik kala membayangkan mengecup bibir seorang PSK. Tapi dalam kasus kali ini terasa begitu berbeda. Entah aku yang berubah puitis atau bagaimana, aku sendiri sudah mulai meragukan identitas diriku. Pagi itu kami bercinta lagi hingga pukul sebelas, saat rombongan tukang jual nasi pecel sudah bosan mengerubungi teras depan.

"Lalu yang ngantar kamu pulang?" tanyaku di garasi.
Fitria tertawa dan mengangkat bahu, "Mungkin ada Oom-Oom yang baik hati?"
Dengan tertawa kubukakan pintu sebelah sopir.
"Ayo aku antar."
"Kamu yakin tidak apa-apa?"
Kugelengkan kepalaku. Fitria melangkah masuk.

Selama perjalanan turun dari telaga, kami berdua tidak megeluarkan sepatah katapun. Seolah sesuatu yang menyedihkan menarik kebisuan kami berdua. Beberapa patah kata yang terucap dari bibirnya adalah hanya pada saat menunjukkan belokan-belokan menuju kediamannya.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang.. besar..?

"Aku curiga," desisku dan melirik ke arah Fitria.
Gadis itu tersenyum dan mengerling misterius, "Simpan saja curiga kamu."
Dengan tertawa aku mulai menyadari kebodohanku sendiri. Seharusnya aku tahu begitu melihat betapa terpelajarnya gadis ini. Betapa bagus ia merawat kulit-kulit di tubuhnya. Betapa kata-katanya bukan kata-kata yang biasa diucapkan orang dusun kaki gunung. Astaga. Aku tertipu mentah-mentah.

Fitria meletakkan jemarinya di bibirku, "Sshh. It's a secret between you and me."
Dan sekarang ia malah memakai bahasa Inggris yang fasih.
"Lalu mengapa?" tanyaku perlahan.
"Just for fun?" Fitria mengangkat bahunya dan melangkah keluar.
Just for fun. Aku juga menikmatinya, begitu kuingat pernah dikatakannya.

"Pak Karyo?" lanjutku ingin tahu.
Fitria membungkukkan tubuhnya dan tersenyum, "Khusus untuk pemuda tampan kaya kamu."
Mau tak mau aku tertawa terbahak-bahak. Jadi begitu ceritanya. Baru kali ini kutemui tipuan yang menyenangkan. Kulihat gadis itu sudah membalikkan punggungnya dan menuju pagar. Selintas ingatan berkelebat di benakku.
Bergegas kubuka jendela mobil, "Hey, Fitria!"
Gadis itu menoleh.
"Kamu kuliah di mana?"
Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan terkekeh geli. Sudah kuduga. Fitria mendekat lagi dan menjulurkan kepalanya ke dalam mobil, lalu membisikkan nama sebuah perguruan tinggi negeri di Mlg. Sementara aku terkejut-kejut, Fitria mendekatkan bibirnya dan mengecup bibirku.

"Ingat. Terkadang hidup ini terasa berat. Tapi kalau kamu nyantai saja, semua akan berakhir seperti angin yang berlalu. Setuju?"
Kuanggukkan kepalaku dan gadis itu melambai sebelum menghilang di balik pagar. Dalam hati aku nyaris tak mempercayai seluruh pengalamanku selama dua hari ini. Betapa aku begitu tertipu oleh penyamarannya. Betapa kesedihan dan perasaan bersalah telah membutakanku tentang siapa aku sebenarnya.

Kunyalakan Marlboro di bibirku dan membuka tempat asbak di dashboard. Ada uang seratus ribu yang terlipat rapih di dalamnya. Dengan tersenyum kecut kuambil lipatan uang itu. Sekejap kemudian tersentak saat melihat beberapa nomor tertera di salah satu sisinya. Berawal dengan 0341. Tak tertahan lagi tawa keluar membanjir dari mulutku.

Yah, inilah dunia.
Terkadang membingungkan dan menyeret kesadaran dengan kesedihan.
Terkadang mengoyak keberadaan tentang siapa diri kita sebenarnya.
Tapi pada akhirnya semua akan kembali pada tempatnya semula.
Dan inilah aku,
Ray,
Mimpi buruk anak-anak dara.
(persetan dengan gadis-gadis itu)

Kutekan pedal gas dan melaju. Tak sabar lagi untuk melihat gedung-gedung pencakar langit. Itulah duniaku. Di mana aku berada. Di mana aku sebenarnya.
Bersiap-siaplah gadis-gadis, karena aku belum tamat.

TAMAT

Rosi dan Tantenya

Rosi, sebut saja demikian, sudah beberapa bulan kami saling berbagi kebutuhan biologis. Rosi adalah wanita berusia 22 tahun dengan tinggi 160-170 cm, dan dengan dada yg tak terlalu besar tetapi mengkal kira-kira 34, kulit putih, dengan wajah mirip wanita cina, jadi agak sipit.

Hubungan kami berawal pada sebuah pesta kawanku, aku kenalan dengannya dan menjadi akrab dengannya bahkan aku menawarkan tumpangan untuk mengantarkannya pulang, untung aku bawa helm cadangan. Kami berdua pulang, karena dia bosan untuk berada disana dia ditinggal oleh temannya. Rosi membonceng motorku, dia ngga keberatan dengan itu. Malam itu cukup dingin, kupinjamkan jaketku untuk menutupi tubuhnya yang hanya memakai kaos putih itu dan celana jeans biru. Bagiku Rosi sungguh sexy malam itu, dia memakai kaos putih tanpa lengan, dan bra hitam yang semakin menunjukkan kemolekkan tubuhnya. Dan rambut panjangnya yang terawat dibiarkan tergerai.

Karena perutku masih lapar, tadi aku tak sempat makan dipesta karena keasikan ngobrol dan menikmati tubuhnya, kuajak dia makan, dia tak menolak. Dia meminta untuk dimakan ditempatnya. Aku setuju. Singkat cerita kami sampai di rumah kontrakkannya dan makan disana, selesai makan aku membereskannya, lalu dia mengajakku ke kamarnya untuk menemaninya malam ini, padahal aku ingin pulang. Aku mencoba menolak karena takut ketahuan orang lain, dia meyakinkan aku kalau tak akan terjadi apapun. Aku mengiyakannya.

Kamarnya sungguh rapi, ya, maklum kamar cewek. Dia mengotrak rumah itu untuk berempat, termasuk dia. Singkat cerita dia, bercerita padaku bahwa dia baru saja memutuskan pacarnya karena mendua. Dia menangis dan kuberanikan diriku untuk memeluknya dan menenangkannya, Rosi tak menolaknya. Setelah agak tenang kubisiki dia bahwa dia tampak cantik malam ini. Rosi tersenyum dan menatapku dalam, lalu memejamkan matanya. Kucium bibrnya, hangat, dia menerimanya. Kucium dia dengan lebih galak dan dia membalasnya, lalu tangannya merangkul pundakku.

Kami berciuman dengan cukup ganas lalu aku turun ke lehernya, Rosi pun mendesah "aahh." Mendengar itu kuberanikan meremas payudaranya yang montok. Rosi mendesah lagi, dam menjambak rambutku. Setelah beberapa saat kulepaskan dia. Rosi sudah terangsang, kulucuti pakaiannya, kaosnya kulepas, bra-nya, tampaklah gunung kembar yang pas dalam genggaman tanganku, dengan punting merah-coklat cerah yang telah mengeras. Kubasaahi telunjukku dan mengelusnya, Rosi hanya memjamkan matanya dan menggigit bibirnya. Kulanjutkan melucuti celananya, dia memakai CD berenda putih sehingga tampak sebagian rambut kemaluannya yang lembab. Dan WOW, ternyata jembutnya tidak terlalu lebat dan rapi, rambut di sekitas bibir kemaluannya besih, hanya di bagian atasnya. Dan vaginanya tampak kencang dengan clitoris yang cukup besar dan mulai basah.

"Kamu rajin mencukur ya," tanyaku, dengan wajah memerah dia mengiyakan. Sebab kata tantenya demi kesehatan vagina, dan biar ngga bau.

Kupangku dia dan mulai menciuminya lagi, dan sapuan lidahku mulai kukonsentrasikan di puntingnya, ku jilati, kutekan bahkan kugigit kecil dengan gigiku, Rosi menggelinjang keasikkan, dan mendesah-desah merasakan rangsangan kenikmatan. Tangan kananku mulai memainkan clit-nya, ternyata sudah banjir, kugesek klitorisnya dengan jari tengahku, perlahan-lahan, desahan dan lenguhan makin sering kudengar. Seirama dengan sapauan lidahku di puntingnya, Rosi makin terangsang, dia bahkan menjambak rambutku dan menekan kepalaku ke payudaranya, "Donn, enakh.. banget.. enakh.." Desahannya dan lenguhannya. Kira-kira 5 menit dari kumulai, badannya mulai mengejang dan "Donn.. Rosi.. mo.. keluaarr!" Sambil berteriak Rosi orgasme, denyutan vagina kurasakan di tangan kananku. Rosi kemudian berdiri.

"Sekarang giliranmu," katanya. Celanaku langsung dilucutinya dan akupun disuruhnya berbaring. Salah satu tangannya memegang penisku dan yang lain memgang zakarnya, dia menggelusanya denga lembut "mmhh..," desahku. "Enak ya, Don." Akupun mengangguk. Rosi mulai menciumi penisku dan mengelus zakarnya, dan mengemutnya dan mengocoknya dengan mulutnya. Terasa jutaan arus listrik mengalir ke tubuhku, kocokannya sungguh nikmat. Kupengang kepalanya, kuikuti naik turunnya, sesekali kutekan kepalanya saat turun. Sesaat kemudian dia berhenti. "Don, penismu lumanyan besar dan panjang yach, keras lagi, aku makin terangsang nich." Aku hanya tersenyum, lalu kuajak dia main 69, dia mau. Vaginanya yang banjir itu tepat diwajahku, merah dan kencang, sedang Rosi udah mengocok penisku. Saat itu aku baru menikmati vagina seorang wanita, aku mulai menjilati vaginanya, harum sekali bau sabun dan bau cairan vagina, dan clitorisnya sampai memerah dan kuhisap cairan yang sudah keluar, tiba tiba dia berteriak saat kuhisap vaginanya keras-keras. "Donnie.. I lovve itt, babbyy", dia menjerit dan aku tahu kalau dia lagi klimaks karena vaginanya sedang kujilat dan saat itulah saat pertama aku rasakan cairan wanita yang asam-asam pahit tapi nikmat.

Setelah dia klimaks, dia bilang dia capai tapi aku nggak peduli karena aku belum selesai dan aku bilang ke dia kalau aku belum puas, saat itulah permainan dilanjutkan. Dia mulai melakukan gaya anjing dan aku mulai memasukkan penisku ke pantatnya yang besar dan menggiurkan dan aku tarik dorong selama beberapa lama. Beberapa lama kemudian, aku bosan dengan gaya itu, dan kusuruh dia untuk berada di bawahku dan aku mulai memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang ternyata sudah basah lagi, perlahan kumasukkan, terasa sekali denyutan vaginanya.

Vaginanya agak susah kumasuki, setelah penisku masuk kira-kira 1/2, ada sedikit darah mengalir, ternyata dia perawan batinku, kubisiki dia "Ros, sebentar lagi kau akan merasakan kenikmatan yang sesunguhnya". Pelahan kugoyang penisku, maju mundur, membentuk angaka 8, rintihan kesakitan berubah menjadi desahan kenikmatan. Saat aku berada di atas Rosi, kujilati payudaranya yang memerah dan dia menjerit perlahan dan mendesah-desah di telingaku dan membuatku tambah bernafsu dan tanpa pikir panjang-panjang lagi, aku mulai menekannya dengan nafsu dan tentunya penisku sudah masuk ke dalam vaginanya yang sangat nikmat itu. "Ooohh nikmat sekali rasanya", dia juga menjerit "Ssshh", seperti ular yang sedang mendekati mangsanya.

10 menit kemudian, dia memelukku kuat-kuat dan aku bingung tapi aku juga mengalami perasaan yang aneh karena sepertinya ada yang mau keluar dari kemaluanku, "Donnie.. aku mauu keluaarr" dan aku juga menjawabnya "Ros.. kayaknya akuu jugaa maauu.." nggak sampai 2 atau 3 menit, badanku dan Rosi sama-sama bergetar hebat dan aku merasakan ada yang keluar dari penisku ke dalam vaginanya dan aku juga merasa ada yang membasahi penisku dengan amat sangat.

Setelah itu, Rosi terdiam karena kelelahan dan aku mulai mencium-ciumi bibirnya yang kecil dan mukanya yang sedikit mirip dengan artis Hongkong Charlie Yeung. Aku mulai membelai-belai rambutnya dan karena dia terlalu kelelahan dia tertidur pulas. Karena aku nggak mau mengganggu dia, aku keluar dari kamarnya dan kulihat di ruang TV, seorang wanita kira-kira 30 tahunan sedang mengusap-usap clitorisnya sambil menonton Video CD tadi dan aku hampiri dia dan dia jadi kaget, "Ngapain kamu.." dia berbicara kepadaku." Keponakanku kamu apain tuch.. teriakannya sampai kemari." Waduh tantenya nich, mati aku, batinku. Terus aku berkata ke dia, "Tante.. kemari dech aku mau bilang sesuatu!" Dia mengikutiku ke sudut ruangan dan dia bersandar di dekat tembok karena dia mau tahu aku mau ngapain.

Tantenya Rosi hanya memakai kaos dan rok mini. "Ada apaan sih!" katanya padaku. Tanpa banyak omong kudekati vaginannya yang sudah basah, pikirku ini adalah kesempatan. Ku elus vaginanya perlahan, kondisi vaginanya gundul, tanpa rambut, dan kucium bibirnya, ada sedikit penolakan awalnya, lalu desahan yang kudengarkan. "Enaakh.. dik, siapa namamu..?" tanyanya "Donnie" jawabku. "Oh Donn..puasin..tante..malam..i..ni" sambil mendesah dan melenguh.

2 menit kemudian kulepaskan dia dari belaianku, kulucuti pakaiannya, kondisi badannya sama dengan Rosi, hanya saja payudaranya sedikit lebih besar. Kugandeng dia ke kamarnya Rosi, ternyata dia sudah terbangun, dan sedang membersihkan vaginanya. "Udah bangun, Ros" dia menjawabnya dengan senyuman. "Temanmu kupakai dulu ya" tantenya berkata, Rosi tersenyum dan mengangguk. Tanpa mempedulikan Rosi, kubaringkan dia, kutabrak vaginanya dengan penisku, ternyata sedikit lebih mudah, karena dia sudah tidak perawan pikirku tetapi masih cukup kencang. Kumulai gerakan penisku, dan kucium lagi bibirnya, dan kunikmati payudaranya. Kami saling bersahutan merasakan kenikmatan bersama.

5 menit kemudian aku mulai menghisap vaginanya dan clitorisnya sampai dia benar-benar mau klimaks dan setelah dia bilang dia mau klimaks, kumasukan penisku ke dalam vaginanya dan bless. Setelah beberapa lama, aku sepertinya mau keluar dan karena aku nggak bisa tahan kenikmatan ini makanya aku langsung saja, croott.. crott.. sampai beberapa kali dan setelah aku selesai Tantenya Rosi gantian memelukku dengan eratnya dan dia berteriak "Mass.. aku keeluarr oohh", dia bergetar hebat dan setelah itu dia mencium bibirku dan melumat habis bibirku dan setelah dia kecapaian dia juga ketiduran.

Malam itu aku bermalam dirumah kontrakan Rosi, ternyata Rosi ngontrak bersama tantenya dan dua orang teman wanita lainnya. Paginya kami melakukan bertiga dikamar mandi, lalu aku pulang. Mulai saat itu aku menjadi pemuas mereka berdua. Sekarang aku sudah lulus, dan lama nggak ketemu mereka, aku merindukan saat itu.

Bagi tante atau teman wanita lainnya yang ingin merasakan pelayananku hubungi aku lewat email. Soal biaya masalah belakangan, yang penting kita bisa saling memuaskan. Kini aku tinggal dan kerja di Jogjakarta, sehingga aku agak kesulitan keluar kota. Tempat bisa diatur.

Tamat

Rudy si perkasa - 1

Siang itu di kantor, Rudy nampak kelihatan sibuk menyelesaikan pekerjaannya, Sejuknya udara yang dihembuskan AC Split diruangannya tak mampu menghilangkan butir-butir keringat di dahinya.

Sebagai seorang manajer pemasaran, Memang hari-hari Rudy tak pernah santai, Namun demikian bukan berarti Rudy tidak ingat sex, Justru semakin dia sibuk semakin menjadi-jadi gairah seksnya, Dengan satu orang istri resmi dan 3 orang istri simpanan, masih saja Rudy merasa kurang dengan semuanya itu, Padahal keempat istrinya masih sangat muda dan gairah seksualnya sangat tinggi, namun mereka semua tidak mampu meladeni keperkasaan dan kepiawaian Rudy di ranjang, sehingga jika Rudy minta nikah lagipun istri-istrinya akan tetap menyetujuinya, karena mereka sadar Rudy punya kelebihan dalam materi dan seks.

Sebenarnya apakah kelebihan Rudy?

Sejak SD kelas 6, tepatnya menginjak masa puber, Rudy mencoba berbagai macam cara untuk memperbesar senjatanya, dari pergaulan dengan teman-temannya akhirnya Rudy memilih menggunakan teh basi, Setiap pagi dan malam menjelang tidur, Rudy mengurut kontolnya dengan teh basi, setiap kali mengurut Rudy selalu membayangkan hal-hal nikmat sambil membaca stensilan Nick Carter, hingga senjatanya ereksi, Rudy menyetopnya, Yah memang menurut teman-temannya tidak boleh sampai keluar air mani.

Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan, senjatanya mulai menunjukan perkembangan yang luar biasa, Hingga saat mulai memasuki SMA senjata Rudy sudah mencapai ukuran 25 cm dengan diameter 6 cm, Luar biasa, Tidak ada seorang temannya pun mempunyai ukuran sepertinya! Kadang namanya remaja sering ngadu pegede-gede senjata dengan teman-temannya di WC, dan semua teman lelakinya berdecak kagum dan iri dengan panjang dan besarnya senjata Rudy, Bahkan banyak teman-temannya yang mencoba mengikuti jejak Rudy, namun tidak ada yang berhasil, karena mereka sudah telat!, masa pertumbuhan penis memang hanya sampai umur 15 tahunan, Lewat umur segitu agak susah untuk merubahnya.

Besar dan panjangnya senjata Rudy memang jadi fenomena, teman-temannya yang sudah pernah melihatnya tidak sadar sering membicarakannya dengan yang lain, hingga bisa dikatakan hampir satu sekolah sudah tahu ukuran senjata Rudy yang super, Malah ada teman Rudy yang sangat minder melihatnya! Kenapa? Karena dalam keadaan ereksi (sekitar 13 cm) senjatanya masih kalah besar dan panjang dengan senjata Rudy yang masih tidur (14 cm x 4,5 cm).

Cewek-cewek teman sekolah Rudy yang rata-rata masih dalam keadaan puberpun berebutan membicarakannya, dan saat olahraga dengan celana pendek, hampir semua teman-teman Rudy yang cewek mencuri pandang tonjolan di depan celana Rudy!, fantastic!

Namun karena Rudy agak taat dengan agama, sampai saat itu, dia masih perjaka tulen, Paling top Rudy hanya memperketat celana panjangnya agar cewek-cewek memandangnya nafsu, Apalagi saat guru biologi Bu Evie yang sangat cantik sedang mengajar, Pasti dengan cara apapun Rudy berusaha memancingnya, Namun waktu itu ada satu hal yang mengganjal di hati Rudy, Dia lihat di film-film bf, membaca liberatur, artikel dan sejenisnya ternyata rata-rata Pria di sunat dan sangat bagus untuk kesehatan senjata, Maka tanpa pikir panjang lagi, pas liburan sekolah naik-naikkan ke kelas 3 SMA (Saat itu usianya 16,5 thn) Rudy pergi ke dokter untuk menyunat senjatanya.

Ternyata disinilah pengalaman pertama Rudy ngeseks, kebetulan sekali dokter yang menyunatnya ternyata cewek, Meskipun tidak terlalu cantik, tapi Rudy yang belum pernah sekalipun bercumbu dengan cewek agak grogi, apalagi saat dokter wanita itu memegang senjatanya untuk digunting, tanpa disuruh senjatanya langsung ereksi, dan dokter wanita itu yang sejak tadi kagum dengan ukuran senjata Rudy semakin tercengang saat senjata Rudy ereksi, 2 kali lipat suaminya pikirnya, Makanya tangannya pun jadi gemetar memegang senjata Rudy yang sedang ereksi penuh, namun untunglah berkat pengalaman dan profesionalnya, dokter itu berhasil mengeksekusi kulup Rudy bahkan sisa kulitnya dijahit diagonal hingga menyerupai gerigi menghiasi kontolnya. Dengan alasan mengontrol kesembuhannya dokter wanita itu meminta nomor telepon rumah Rudy..

*****

Seminggu berlalu, jahitan di senjata Rudy sudah kering, Namun agak sedikit kaget Rudy saat melihat senjatanya dihiasi dengan gerigi gerigi di seputar kepala kontolnya, tepat saat itu dokter wanita (Namanya Rani) itu ngebel menanyakan kesembuhannya/
"Bu dokter, kenapa jadi ada geriginya di titit saya?" Tanya Rudy
"Oh.. Itu memang disengaja, biar suatu saat kalau kamu sudah dewasa kamu jadi idaman wanita"
"Maksudnya apa, Bu?"
Panjang lebar dokter Rani pun menjelaskannya, bahwa dengan gerigi seperti itu, wanita yang bersetubuh dengan Rudy nanti akan mengalami 2 kali kenikmatan, Sambil menjelaskan dokter Rani yang terbayang dengan senjata Rudy tak tahan sendiri, dokter Rani membayangkan senjata segede itu memasukki liang kewanitaannya, "Ah, betapa nikmatnya"

"Hallo!, hallo!, Bu dokter masih ada!" panggil Rudy di telepon.
"Ya, ya" dokter Rani gelagapan mendengar teriakan Rudy di gagang telepon yang sedang digenggamnya.
"Rudy, kalau bisa kamu kesini, ibu mau periksa lagi jahitannya!" tanpa sadar dokter Rani mencetuskan keinginannya yang dari tadi terpendam.
"Baik, Bu dokter, 10 menit lagi saya sampai di tempat Bu dokter!"
Rudy mematikan telepon dan memacu motornya ke tempat dokter Rani, Sementara dokter Rani sampai bingung tak percaya dengan apa yang ia ucapkan tadi, "Kenapa saya nyuruh Rudy kesini?" batinnya. "Apa saya ingin main dengan bocah seperti dia?"
"Ah, masa bodoh lah!"
Dokter Rani kembali duduk di meja kerjanya, Hatinya berdebar-debar membayangkan kedatangan Rudy nanti, Memang selain kontolnya besar panjang, Rudy pun tampan, Dia keturunan Chinese dan belanda, dengan kulit putih bersih.

Dan tidak sampai 10 menit Rudy sudah sampai di tempat dokter Rani, karena tidak ada pasien, Dokter Rani langsung menyuruh Rudy rebahan di tempat tidur pasien, Dengan jantung berdebar dokter Rani menyuruh Rudy membuka celananya, Dan belalai gajah itupun tersembul dari celana Rudy, dokter Rani semakin gemetar, berpura-pura meriksa, dokter Rani menggenggam senjata Rudy, terasa hangat ditangannya, lalu dokter Rani mengocoknya perlahan..
"Bu, kok di kocok?, saya nggak tahan, Bu!"
"Nggak apa-apa, ibu Cuma mau lihat jahitannya saat ereksi" jawab dokter Rani parau

Dasar anak muda, tak lebih dari 5 detik senjata Rudy sudah membengkak besar, panjang dan keras, Dokter Rani menelan ludah menyaksikannya, dan dokter ranipun lupa akan kode etik kedokteran, nafsu sudah menguasai seluruh tubuhnya,
"Sebentar ya, Rud!" Dokter Rani beranjak ke pintu dan pesan kepada asistennya agar jangan terima pasien dulu, karena Rudy akan diterapi memakan waktu 2 jam!
Asistennya pun Cuma mengangguk, Dokter Rani secepatnya balik dan meneruskan terapinya, Rudy yang polos hanya pasrah saat dokter Rani mengocok senjatanya agak keras dan cepat.
"Sakit, jahitannya Rud?" Tanya dokter Rani, sementara nafasnya semakin memburu dikuasai nafsu.
"Enak, Bu dokter" jawab Rudy polos.
"Nanti ibu tes dengan cara lain, kalau sakit bilang ya?"

Dokter Rani langsung melepas pakaian bawahnya tanpa sepengetahuan Rudy, Kini mereka berdua sama-sama telanjang dibagian bawahnya. Dokter Rani mengambil kain putih dan menutup mata Rudy,
"Kenapa mata saya ditutup, Bu?"
"Kalau tidak ditutup konsentrasi kamu terbagi-bagi, Kalau ditutupkan konsentrasi kamu bisa terfokus hanya pada rasa sakit atau tidak di titit kamu!" terang Bu Rani yang suaranya terdengar semakin parau.
Rudy hanya diam saja meskipun bingung, Dalam keadaan mata tertutp, Rudy merasa senjatanya terasa hangat dan basah, Rudy keenakan, Rudy tak tahu bahwa dokter Rani sedang berusaha mengemot senjatanya dengan mulutnya yang mungil,

"Bu dokter, geli!, tapi enak, Bu!" Rudy merasa nikmat.
Sementara dokter Rani semakin semangat, vaginanya terasa berdenyut-denyut menahan gelora nafsunya sendiri, Akhirnya setelah dirasa senjata Rudy sudah cukup basah dengan ludahnya bercampur dengan cairan semennya, dokter Rani berjongkok diantara paha Rudy, dokter Rani sangat berhati-hati, dia tak ingin ada sentuhan dipaha Rudy, dokter Rani menggenggam senjata Rudy dan memasukkan ke vaginanya yang sudah basah, Meskipun sulit senti demi senti senjata Rudy memasuki liang yang hangat, Rudy mengerang lirih merasakan kenikmatan.

"Bu, saya diapain, Enak sekali!" Tanya Rudy
"Kamu tenang saja Rud!, kalau sakit bilang sakit, kalau enak bilang enak ya?" dokter Rani mencoba mewibawakan suaranya yang terdengar sudah terputus-putus.
Sementara dokter Rani semakin menurunkan pinggulnya ke bawah hingga bulu kemaluannya yang lebat beradu dengan bulu senjata Rudy yang masih jarang, dokter Rani terdiam rasa nikmat di vaginanya, apalagi gerigi-gerigi disenjata Rudy terasa menggesek lembut dinding vaginanya, hingga perlahan dia menggerakkan pinggulnya, Rudy yang dalam keadaan mata tertutup semakin penasaran dengan rasa nikmat disenjatanya, Hingga diam-diam Rudy membuka sedikit kain penutup matanya.

Hampir saja jantung Rudy copot, melihat dokter Rani berada diatas tubuhnya dengan vagina tertancap di senjatanya, Rudy kembali menutup kainnya, berpura-pura tidak tahu, dan Rudy pun menikmati goyangan pinggul dokter Rani, tapi tidak ada 5 menit, Rudy merasakan senjatanya semakin hangat, ternyata dokter Rani sudah orgasme, Seluruh tubuhnya bergetar hebat, kelopak matanya hanya tinggal putihnya saja, tapi dokter Rani mencoba tidak bersuara, sunyi sesaat, dokter Rani berfikir "Kenapa aku begitu cepat keluar? Apa karena gede? Atau karena geriginya?", pikir Rudy.
Dokter Rani kembali ingat tugasnya.
"Gimana Rud, Sakit atau tidak?" Tanya dokter Rani berpura-pura
Rudy yang sudah tahu hanya tersenyum dalam hati,
"Enak, Bu!, Lagi dong, yang agak lamaan juga nggak apa-apa, Bu!"

Dokter Rani tercengang, tanpa sadar dia kembali menggoyangkan pinggulnya, pahanya bersentuhan dengan paha Rudy, dia sudah lupa dengan permainannya sendiri, nafsunya terlalu mengikatnya, kepala senjata Rudy terasa menyentuh rahimnya, Sampai orgasme 5 x barulah dokter Rani merasa puas, sementara Rudy yang mengalami denyutan-denyutan hangat selama satu jam lebih mencoba mempertahankan spermanya yang mau muncrat, dia ingin keluar sebagai pemenang, apalagi posisi Rudy dibawah jelas Rudy lebih mudah mengatur orgasmenya, Namun dokter Rani bukan gadis bau kencur.

Menyadari Rudy belum keluar dia semakin cepat menggoyangkan pinggulnya, Olah nafas perut dikeluarkannya, hingga Rudy merasakan di senjatanya bagai diurut-urut nikmat, Apalagi saat dokter Rani sambil bergoyang mengelus-ngelus dadanya, kadang putingnya ditarik, akhirnya bobollah pertahanan Rudy, Rudy melepaskan orgasme perjakanya dengan nikmat ada 10 kali kedutan terasa di vagina dokter Rani, hingga dokter Rani pun kembali meraih orgasme yang ke-6.

5 menit kemudian barulah dokter Rani sadar dari segalanya, dia kembali berpakaian rapi dan mencuci senjata Rudy yang masih tegang, dokter Rani masih saja berpura-pura.
"Rud, sepertinya kamu sudah sembuh total!"
"Baiklah, Bu dokter, kalau perlu di cek lagi saya bersedia, Bu!" kata Rudy tersenyum sambil meninggalkan dokter Rani yang bengong.
Sejak saat itu, Rudy merasa sudah dewasa, karena merasa pernah melakukan hal yang sepantasnya dilakukan orang dewasa, juga Rudy semakin sadar bahwa memang senjatanya punya kelebihan yang membuat wanita bertekuk lutut.

Tiba-tiba handphone di sakunya bergetar, Rudy kaget, lamunan panjang tentang masa lalunya pun berakhir.ak
"Hallo! Pak Rudy, Jangan lupa malam ini di hotel X kamar xx"
"Ya, pasti!, ok sampai ketemu nanti"
Rudy tersenyum, ya malam ini memang dia ada janji dengan Nafa Urbach yang dikenalnya tanpa sengaja waktu sedang shooting di Cibubur. Dengan beribu cara Rudy akhirnya berhasil mendekatinya, dan dasar memang Nafa nafsu seksnya tinggi, apalagi Primus kekasihnya tidak bisa memberikan kepuasan kepadanya, maka dengan cara halus akhirnya Nafa pun berhasil menggiring Rudy ke pangkuannya, meskipun sudah beberapa kali melakukannya dengan Rudy namun nafa tidak pernah puas, bahkan skrng malah nafa yang mengundang Rudy.

Selepas kerja Rudy memacu Terranonya ke hotel yang dijanjikan Nafa, terbayang sudah kenikmatan yang bakal didapatnya nanti dengan nafa yang begitu seksi dan liar, berfikir seperti itu tanpa sadar senjata Rudy ereksi hingga keluar dari celana panjangnya melewati pusar. Buru-buru Rudy memasukkan laptopnya kedalam meja kerjanya, hingga ceritanyapun habis sampai disini! Salam Rumah Seks

Bersambung . . ..